JATIMTERKINI.COM: Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Malang, yang diketuai Brelly Yuniar Dien Wardi Haskori SH MH memvonis terdakwa dugaan pemalsuan tandatangan untuk pencairan deposito Taseto BTPN Malang, FM Valentina, 1 tahun penjara dengan masa percobaan. Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU, yaitu 2 tahun penjara.
Namun demikian, kuasa hukum FM Valentina, Andry Ermawan SH dan Agus Budi Wahono SH mengaku kecewa atas putusan tersebut. Menurut Andry, putusan tersebut tidak sesuai dengan fakta-fakta di persidangan. Termasuk keterangan saksi dari pihak bank, dan keterangan saksi ahli pidana yang dihadirkan.
“Sebagai kuasa hukum terdakwa kami menghargai pendapat hakim. Namun, seharusnya hakim juga mempertimbangkan keterangan para saksi, termasuk saksi Nurul dari pihak bank yang menyebut bahwa semua yang dilakukan Valentina sepengetahuan suaminya (dr Hardi),” kata Andry usai sidang di PN Malang, Rabu (20/12/2023).
Bahkan, lanjut Andry, majelis hakim seharusnya juga mempertimbangkan keterangan tiga saksi ahli pidana dalam persidangan. “Tiga ahli pidana yang dihadirkan di persidangan menyebutkan bahwa pasal 263 KUHP bisa dijeratkan asal ada unsur kerugian. Nah, di dalam persidangan sudah terungkap semua, bahwa tidak ada unsur kerugian dari dr Hardi, yang saat itu jadi suaminya Bu Valentina. Karena, uang Rp 500 juta itu terbukti milik ibu Valentina, dan penutupan rekening juga sepengatahuan dr Hardi,” ungkap Ketua DPC IKADIN Sidoarjo ini.
Meski Andry akan tetap menghargai putusan hakim, namun dia mengaku tidak sependapat dengan putusan tersebut. Kata Andry, seharusnya majelis hakim tetap konsisten atas fakta yang terungkap di persidangan. “Memang itu hak hakim. Tapi seharusnya klien kami (FM Valentina) bebas. Karena dari ketiga saksi ahli pidana menyebut tidak terpenuhi unsur pidana dalam perkara ini,” tegas Andry.
Sementara, ketika disinggung apakah melakukan banding atas putusan tersebut? “Kami masih pikir-pikir,” papar Andry.
Seperti diketahui, dalam sidang sebelumnya FM Valentina dituntut 2 tahun penjara oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dari Kejari (Kejaksaan Negeri Malang) Suud SH.
Dalam keterangannya, JPU menyebut bahwa Valentina menarik uang Rp 500 juta tanpa sepengetahuan atau seijin Hardi. “Dianggap terbukti secara sah melanggar pasal 263 KUHP serta merugikan pelapor,” kata Suud. Sementara, Hardi pun tidak bisa dihadirkan lantaran sudah meninggal.
Sementara, Andry Ermawan SH, kuasa hukum Valentina menyatakan bahwa tuntutan tersebut sangat janggal. Dan pihaknya akan segera membuat pledoi (pembelaan) untuk sidang berikutnya.
Dikatakan Andry, bahwa tuntutan JPU tidak sesuai dengan fakta persidangan. “Boleh-boleh saja jaksa menuntut dua tahun. Itu hak dia. Tapi banyak fakta hukum yang sudah dibuka di persidangan sebelumnya, bahwa semua yang dilakukan klien kami sepengetahuan Hardi,” jelas Andry.
Andry menyebut, penandatanganan form aplikasi pembukaan, hingga penutupan rekening rekening deposito Taseto BTPN. Itu semua juga sepengetahuan Hardi.
“Saksi Nurul yang saat itu menjadi staf BTPN Malang sudah menjelaskan ke hakim saat bersaksi di persidangan. Justru anak Hardi yaitu Hendri tidak tahu menahu tentang rekening ini,” kata Andry lagi.
Dalam sidang sebelumnya, saksi ahli pidana dari UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, yakni Dr M Arif Setiawan SH MH di depan majelis hakim yang dipimpin Brelly Yuniar Dien Wardi Haskori SH MH, mengatakan bahwa terdakwa dapat dijerat pasal 263 KUHP jika terdapat unsur kerugian.
“Ketika surat palsu yang digunakan bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam perkara ini, kalau memang ada persetujuan dari suami, tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum,” tegas Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta ini.
Dalam perkara BTPN Malang, kata saksi ahli yang kerap dipakai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ini, tidak ada niat jahat dari terdakwa. Dan tidak menyebabkan kerugian terhadap suaminya. Sehingga, tidak ada unsur perbuatan melawan hukum oleh terdakwa.
“Tidak ada niat jahat atau suami yang dirugikan. Apalagi, tandatangan semua form aplikasi dilakukan di depan pejabat bank. Sudah jelas tidak ada perbuatan melawan hukum. Kalau ada tandatangan yang tidak sama, harusnya bank menolak. Pelanggarannya ada di bank kalau ada sesuatu yang tidak benar,” tegas Arif.
Selain itu, lanjut Arif, jika tidak ada kesalahan dalam proses pembukaan rekening dan penutupannya, dan Valentina tidak bisa dipidana. “Yang melawan SOP bank adalah pihak bank sendiri. Bukan nasabah. Jadi, dalam hal ini, bila semua unsur dalam Pasal 263 KUHP tidak terpenuhi, dakwaannya ya harus bebas,” tandas Arif.
Pakar hukum pidana UII Yogyakarta ini juga sependapat dengan Dr Prija Djatmika SH
MSi, dosen Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya (UB). Yaitu, masalah kerugian yang ditimbulkan dalam Pasal 263 KUHP adalah unsur subyektifnya bila dilakukan secara sengaja.
“Menimbulkan kerugian itu mutlak harus ada dalam pasal ini. Dan kerugian materiil atau moril itu harus dapat dibuktikan. Dalam kasus ini, pemalsuan formil memang terpenuhi. Pemalsuan surat memang ada, tapi bukan tindak pidana. Apalagi, tandatangan semua form deposito ini atas sepengetahuan pelapor (Hardi),” tambah Prija Djatmika.
“Semua saksi ahli menerangkan Pasal
263 KUHP, jika tidak terdapat mensrea atau niat dari klien kami untuk merugikan pelapor. Apalagi, saat peristiwa itu terjadi, keduanya masih terikat pernikahan yang sah. Kami juga lampirkan bukti pendukung lain, seperti surat pernyataan dari
pegawai bank dan surat lain,” tambah Andry.
Perkara tersebut mencuat setelah FM Valentina dituding telah melakukan tindak pidana pemalsuan tandatangan utk deposito Taseto BTPN Malang. Dia dilaporkan atas tudingan menimbulkan kerugian terhadap dr Hardi Soetanto, mantan suaminya, sebesar Rp 500 juta.
Padahal, uang Rp 500 juta itu ditarik dari rekening Valentina, untuk membuka rekening baru Taseto Bank BTPN Malang atas nama Hardi. Namun, hal itu kembali dipersoalkan oleh anak Hardi, yakni Hendri Irawan disaat Hardi sudah meninggal.
Di hadapan majelis hakim yang dipimpin Brelly Yuniar Dien Wardi Haskori SH MH, Dr Prija Djatmika mengatakan, bahwa tindak pidana Pasal 263 KUHP yang didakwaan kepada Valentina harus menimbulkan kerugian. “Unsur subyektifnya bila dilakukan secara sengaja,” kata dia.
Bahkan, lanjut Dr Prija, kerugian tersebut juga harus dibuktikan. “Menimbulkan kerugian itu mutlak harus ada dalam pasal ini. Dan kerugian materiil atau moril itu harus dapat dibuktikan. Dalam kasus ini, pemalsuan formil memang terpenuhi. Pemalsuan surat memang ada, tapi bukan tindak pidana. Apalagi tandatangan semua form deposito ini atas sepengetahuan pelapor,” jelas dia.
Mantan wartawan Jawa Pos ini mengungkapkan, jika uang yang digunakan untuk membuka rekening deposito Taseto Bank BTPN Malang ini, kembali ke pemiliknya, bukan ke pelapor. “Lalu dimana kerugiannya? Menurut saya, tidak ada kerugian yang dialami pelapor. Kalau sudah begitu, unsur Pasal 263 KUHP juga tidak memenuhi. Artinya, keputusan hakim nanti bisa bebas, minimal onslag,” papar saksi ahli yang kerap dipakai Polri ini.
Kata Dr Prija, Valentina tidak bisa dituntut pidana dalam kasus tersebut. Pasalnya, tidak ada kepentingan yang merugikan Hardi semasa masih menjadi suami. “Kalau korban lapor karena merasa uangnya hilang, harus ada alas haknya. Misal sumber uang ini adalah dari pelapor atau korban, bisa disebut penggelapan,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, jelas Dr Prija, secara formil jika kasus tersebut cacat hukum. “Dalam pembuatan rekening depositonya saja sudah cacat. Depositonya palsu. Ranahnya bukan pidana lagi. Harusnya keputusan hakim nanti adalah onslag. Korban tidak rugi apapun. Rugi darimana kalau uang yang digunakan untuk membuka rekening adalah milik istrinya sendiri,” pungkasnya. (Rudi)