JatimTerkini.com
Hukrim

Akankah Palu Mati Koruptor Bergema di Pengadilan Tipikor Jakarta

Oleh : Dr. Erianto N.SH.MH, Koordinator pada Kejati Kalteng dan Pengajar Pada Universitas Pancasila Jakarta

Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin akan mengkaji tuntutan mati untuk pelaku korupsi dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) dengan kerugian negara Rp.22,78 Triliun yang telah dipidana juga seumur hidup dalam korupsi PT. Asuransi Jiwasraya Rp. 16 Triliun saat arahan langsung jajaran Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah 28 Oktober 2021 benar dibuktikan kepada Terdakwa Heru Hidayat selaku Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk yang dibacakan Tim Penuntut Umum Satuan Tugas Khusus Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Gedung Bundar Kejaksaan Agung hari Senin 6 Desember 2021. Meski terdapat pro kontra bahkan banyak yang pesimis hanya sekedar lips service, pencitraan dari berbagai pihak namun ST Burhanuddin menunjukkan keseriusan dengan memerintahkan jajarannya melakukan kajian dengan para ahli hukum pidana dari berbagai perguruan tinggi maupun praktisi termasuk webinar yang pertama sekali disambut langsung oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah dengan Universitas Palangka Raya, diikuti Universitas Jenderal Soedirman dan Universitas Diponegoro kerja sama Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Setelah tuntutan dibacakan, perdebatan tambah meluas dikalangan ahli maupun praktisi hukum dengan isu antara lain, Pertama, tuntutan hukuman mati di luar ancaman pasal dakwaan dimana jaksa mendakwa Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo 20 Tahun 2001 dengan ancaman maksimal pidana seumur hidup sedangkan ancaman pidana mati termuat dalam Pasal 2 Ayat (2) sehingga bila majelis hakim mengabulkan tuntutan Penuntut Umum maka terjadi putusan diluar dakwaan (ultra petita). Kedua, perdebatan mengenai makna pengulangan sebagai bagian dari keadaan tertentu yang menjadi alasan pemberatan pidana dalam undang-undang tindak pidana korupsi dibandingkan dengan nebis in idem dalam KUHP.

 

PUTUSAN DILUAR DAKWAAN / TUNTUTAN (ULTRA PETITA)

Menurut berbagai literatur Istilah ultra petita diambil dari kata Ultra yakni Lebih, melampaui, ekstrim, sekali dan Petita yakni permohonan. Ultra Petita dari segi pidana adalah penjatuhan putusan oleh Majelis Hakim atas suatu perkara yang melebihi tuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum sementara dalam hukum perdata pengadilan tidak dibenarkan memutuskan para penggugat melebihi apa yang diminta didalam surat gugatannnya.

Sebagaimana Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) Rbg yang substansi aturannya sama yaitu melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) “Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat”. HIR merupakan hukum acara perdata dan pidana bagi penduduk pribumi jawa madura sedangkan RBg untuk daerah lain yang berlaku di Hindia Belanda / Indonesia namun sekarang sepanjang mengatur hukum acara pidana sudah dicabut dengan berlakunya Undang-Undang  Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena dianggap tidak sesuai dengan cita cita hukum nasional

Terkait dengan putusan hakim maka Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP menjelaskan pengambilan keputusan oleh hakim dilakukan dalam musyawarah yang didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Selanjutnya Pasal 191 ayat (1) KUHAP sangat tegas menyebut “jika pengadilan berpendapat dari hasil pemeriksaan di sidang”, begitu juga terkait putusan pemidanaan juga disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP  memuat  “Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa”. Dari beberapa pasal diatas sangat tegas sekali dasar hakim mengambil keputusan bukan hanya surat dakwaan namun yang lebih utama fakta-fakta hukum yang terungkap selama persidangan.

Dalam praktek peradilan masalah putusan diluar surat dakwaan / tuntutan terdapat ada beberapa putusan hakim yang sudah menjadi sumber hukum yurispridensi Mahkamah Agung dijatuhkan diluar tuntutan penuntut umum antara lain; Pertama, Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor: 02/Pid.B/2007/PN.Bi atas Terdakwa Agus Santoso dan Yusroni yang dituntut berlapis Primair Pasal 338 KUHP, Subsidair Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP namun yang dibuktikan hakim adalah Pasal 170 ayat (1) KUHP tidak ada didakwakan. Kedua, Putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang dikuatkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 810/K.Pid.sus/2012 dengan terdakwa Idris Lukman Bin Lokman Hendrik yang didakwa alternatif pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berupa kesatu Pasal 114 ayat (1) atau kedua Pasal 112 ayat (1) namun menurut majelis terdakwa terbukti melanggar Pasal 127 ayat (1) yang tidak didakwakan dimana terdakwa terbukti menggunakan sabu-sabu dan tidak terbukti pernah memiliki, membawa atau menyimpan narkotika tersebut untuk tujuan lain seperti diedarkan atau dijual kembali, sehingga seharusnya terdakwa memang dihukum sebagai penyalahguna. Menurut Mahkamah Agung putusan judex facti dapat dibenarkan dalam rangka kemanfaatan serta keadilan putusan.

Ketiga, Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat Nomor :17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST dengan Terdakwa Susi Tur Andayani yang didakwa kumulatif, Pertama Pasal 12 huruf c Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam kasus suap untuk memenangkan pasangan calon Bupati dan wakil Bupati Kabupaten Lebak Periode 2013-2018 yang melibatkan M. Akil Mochtar dan Tubagus Chaeri Wardhana Dan dakwaan kedua Pasal 12 huruf c UU Tipikor dalam kasus memberikan suap kepada M. Akil Mochtar selaku hakim yang memeriksa perkara konstitusi terkait keberatan atas Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara Tingkat Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2010. Ternyata dalam putusan Majelis hakim Tipikor Jakarta Pusat menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang Undang Tipikor dan Pasal 13 UU Tipikor. Putusan ini dikuatkan tingkat banding Nomor: 47/Pid/TPK/2014/PT.DKI serta tingkat kasasi Putusan Nomor : 2262/K/Pid.Sus/2015.

Dari beberapa putusan pengadilan diatas yang sudah dikuatkan sampai tingkat Mahkamah Agung maka polemik terkait akan terjadi putusan di luar dakwaan / tuntutan (Ultra Petita) tidak relevan lagi untuk dipermasahkan karena KUHAP sendiri tegas menyebutkan “hakim memutus berdasarkan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang”  selama putusan masih dalam kerangka mewujudkan tujuan kepastian hukum, pemidanaan berkeadilan, dan hukum yang bermanfaat. Bahkan sebagaimana gagasan Satjipto Rahardjo terkait asas ultra petitum partium yang terdapat dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) RBg dapat diberikan pemaknaan lain dengan menggunakan teknik-teknik penemuan hukum guna mendapatkan keadilan yang sesuai dengan keadilan dalam masyarakat sesuai fakta yang terungkap dipersidangan.

 

POLEMIK PENGULANGAN KORUPSI SEBAGAI PEMBERATAN BERUJUNG HUKUMAN MATI

Pemberlakukan ketentuan pidana hukuman mati yang diatur dalam UU Tipikor sangat jarang terdengar dalam proses penanganan tindak pidana korupsi. Diantara yang pernah terdengar adalah tuntutan mati diajukan oleh Penuntut Umum terhadap pembobol Bank BNI senilai Rp 1,7 Trilyun oleh Ahmad Sidik Mauladi Iskandar Dinata atau Dicky Iskandar Dinata selaku Direktur Utama PT Brocolin Indonesia yang menerima kucuran dana hasil pembobolan Bank BNI pada Tahun 2006 dan berstatus residivis dalam perkara korupsi di Bank Duta sehingga Penuntut Umum berpendapat memenuhi kualifikasi dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang mencantumkan pidana hukuman mati, namun majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpandangan lain dengan mennjatuhkan hukuman 20 tahun penjara.

Secara yuridis normatif ketentuan dalam UU Tipikor yang mencantumkan pidana hukuman mati hanya termuat dalam Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”. Penjelasan dari pasal tersebut bahwa “keadaan tertentu” dalam hal tindak pidana korupsi yang masuk kelompok merugikan keuangan negara atau perekonimian negara ini adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Kriteria dalam perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini mengubah ruang lingkup ketentuan awal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menekankan pada waktu tindak pidana dilakukan negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter termasuk sebagai pengulangan tindak pidana korupsi.

Terkait pengulangan tindak pidana korupsi sebagai salah satu dasar pemberatan untuk hukuman mati maka tidak ada penjelasa dalam UU Tipikor mengenai pengertian dari “pengulangan tindak pidana”  namun tidak sedikit yang menafsirkan sama dengan pengertian “residiv” sebagaimana dalam KUHP. Menurut E.Y. Kanter, S.H. dan S.R. Sianturi, S.H., residiv (recidive) ialah apabila seorang melakukan suatu tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana padanya, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu; sejak setelah pidana tersebut dilaksanakan seluruhnya atau sebahagian; atau sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan; atau Apabila kewajiban menjalankan pidana itu belum daluarsa pelaku yang sama itu kemudian melakukan tindak pidana lagi.

Namun permasalahannya apakah pengertian Residivis dalam KUHP bisa ditarik kepada pengertian pengulangan dalam UU Tipikor? Bila dikaji secara sistematika penyusunan KUHP maka residivis atau pengulangan tindak pidana diatur pada Pasal 486 sampai Pasal 488 dalam buku II KUHP sementara ketentuan KUHP yang memungkinkan tali penghubung pemberlakuan ketentuan dalam KUHP kepada undang-undang khusus termasuk UU Tipikor adalah Pasal 103 KUHP dan itupun hanya untuk pemberlakuan ketentuan-ketentuan dalam Buku I KUHP saja yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Dengan demikian  maka pengulangan tindak pidana dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak memiliki dasar yang kuat ditafsirkan sebagaimana residivis dalam KUHP.

 

MENUNGGU KETUK PALU PROGRESIF HAKIM TERHADAP TERDAKWA KORUPSI ASABRI

Putusan Hakim Tipikor Jakarta dalam kasus mega korupsi Asabri atas terdakwa Heru Hidayat yang juga terpidana seumur hidup dalam mega korupsi Jiwasraya tinggal menunggu hari pertengahan Januari 2022 ini. Merujuk Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan kewajiban hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang sejalan dengan maksud pasal-pasal dalam KUHAP diatas “hakim memutus berdasarkan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang’, sehingga hakim bebas menentukan berat ringannya pemidanaan atas perkara yang ditangani yang bertujuan untuk penegakan hukum yang adil, menciptakan kepastian hukum, memberi manfaat dan melindungi kepentingan publik mengingat besarnya kerugian keuangan negara yang terjadi. Mudah mudahan analisa yuridis sederhana ini terutama dalam hal pemaknaan pengulangan pidana dan tuntutan diluar dakwaan (ultra petita) menjadi pandangan alternatif majelis hakim tipikor jakarta. Kami tunggu ketuk palu progresif yang mulia pada Pengadilan Tipikor Jakarta sebagaimana ketuk palu progresif memberi makna baru terhadap pemahaman makna pemufakatan jahat korupsi dalam kasus Djoko Tjandra yang sebelumnya sempat mental dalam kasus “papa minta saham” yang diduga melibatkan Setya Novanto. Wassalam.