JATIMTERKINI.COM: Ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) akhirnya dihadirkan di persidangan dalam perkara deposito BTPN Malang, Rabu (1/11/2023). Bahkan, keterangan saksi ahli, Dr Prija Djatmika SH MSi, telah ‘mematahkan’ dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang.
Diketahui, bos PT Hardlent Medika Husada (HMH), FM Valentina, didakwa dengan Pasal 266 ayat 2 KUHP jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP, atau dakwaan kedua, Pasal 263 KUHP ayat 2 Juncto Pasal 64 ayat 1 tentang dugaan menggunakan akta atau surat keterangan palsu hingga dituding menimbulkan kerugian terhadap dr Hardi Soetanto, mantan suaminya, sebesar Rp 500 juta.
Padahal, uang Rp 500 juta itu ditarik dari rekening Valentina, untuk membuka rekening baru Taseto Bank BTPN Malang atas nama Hardi. Namun, hal itu kembali dipersoalkan oleh anak Hardi, yakni Hendri Irawan disaat Hardi sudah meninggal.
Di hadapan majelis hakim yang dipimpin Brelly Yuniar Dien Wardi Haskori SH MH, Dr Prija Djatmika mengatakan, bahwa tindak pidana Pasal 263 KUHP yang didakwaan kepada Valentina harus menimbulkan kerugian. “Unsur subyektifnya bila dilakukan secara sengaja,” kata dia.
Bahkan, lanjut Dr Prija, kerugian tersebut juga harus dibuktikan. “Menimbulkan kerugian itu mutlak harus ada dalam pasal ini. Dan kerugian materiil atau moril itu harus dapat dibuktikan. Dalam kasus ini, pemalsuan formil memang terpenuhi. Pemalsuan surat memang ada, tapi bukan tindak pidana. Apalagi tandatangan semua form deposito ini atas sepengetahuan pelapor,” jelas dia.
Mantan wartawan Jawa Pos ini mengungkapkan, jika uang yang digunakan untuk membuka rekening deposito Taseto Bank BTPN Malang ini, kembali ke pemiliknya, bukan ke pelapor. “Lalu dimana kerugiannya? Menurut saya, tidak ada kerugian yang dialami pelapor. Kalau sudah begitu, unsur Pasal 263 KUHP juga tidak memenuhi. Artinya, keputusan hakim nanti bisa bebas, minimal onslag,” papar saksi ahli yang kerap dipakai Polri dan KPK ini.
Bahkan, kata Dr Prija, Valentina tidak bisa dituntut pidana dalam kasus tersebut. Pasalnya, tidak ada kepentingan yang merugikan Hardi semasa masih menjadi suami. “Kalau korban lapor karena merasa uangnya hilang, harus ada alas haknya. Misal sumber uang ini adalah dari pelapor atau korban, bisa disebut penggelapan,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, kata Dr Prija, secara formil jika kasus tersebut cacat hukum. “Dalam pembuatan rekening depositonya saja sudah cacat. Depositonya palsu. Ranahnya bukan pidana lagi. Harusnya keputusan hakim nanti adalah onslag. Korban tidak rugi apapun. Rugi darimana kalau uang yang digunakan untuk membuka rekening adalah milik istrinya sendiri,” kata Dr Prija lagi.
Sementara, Andry Ermawan SH dan Agus Budi Wahono SH, penasihat hukum Valentina mengakui, jika ahli yang dihadirkan menyampaikan hal yang sangat bagus dalam memberikan paparan hukum. Diantaranya, menguraikan tentang Pasal 263 KUHP dan Pasal 266 KUHP. “Materiil dan formil harus selesai. Jika unsur tidak terpenuhi dalam arti Voltooid, maka sah-sah saja ahli menyatakan klien kami bebas dari segala tuntutan,” tambah Andry Ermawan, yang juga Wakil Ketua Peradi Sidoarjo ini.
Sementara dalam sidang sebelumnya, Nurul Fauziah SE, marketing Bank BTPN Malang, yang merupakan saksi kunci atas kasus ini mengaku kepada majelis hakim bahwa dia mengetahui persis kasus tersebut. Mulai dari pembukaan rekening Taseto, pemindah bukuan, penutupan hingga penarikan uang itu oleh Valent. Termasuk pengisian form aplikasi hingga contoh tandatangan dan penutupan dilakukan dan disetujui oleh pelapor, yakni almarhum dr Hardi Soetanto. Ketika itu, dr Hardi masih menjadi suami Valentina.
“Memang saya menjelaskan, untuk membuka rekening Taseto itu, harus pakai nama lain karena bu Valent sudah memiliki rekening Taseto. Yang belum adalah dr Hardi,” jelas Nurul.
Kemudian, kata Nurul, dr Hardi menyetujui
pembukaan rekening dengan menggunakan namanya tersebut. Apalagi, uang Rp 500 juta yang dipakai untuk membuka rekening itu adalah milik Valentina. “Saya sebagai marketing Bank BTPN Malang membantu mengisikan form dokumen aplikasi di hadapan bu Valent dan dr Hardi di rumahnya,” tegas Nurul.
“Termasuk saat bu Valentina tandatangan semua form atas nama suaminya, diketahui oleh dr Hardi. Tidak ada masalah. Setelah semua selesai, saya yang membawanya form itu ke customer service BTPN untuk proses pembukaan rekening. Uang untuk membuka rekening itu, didebet dari rekening bu Valentina ke rekening baru Taseto atas nama dr Hardi,” kata dia lagi.
Tidak hanya itu, di hadapan majelis hakim, Nurul juga menunjukan surat pernyataan yang dia buat terkait proses pengajuan dan penarikan hingga penutupan rekening deposito yang kini dipersoalkan oleh Hendri Irawan, anak dari dr Hardi tersebut.
Menurut Nurul, setelah semua proses dilakukan dan mengetahui dr Hardi, kemudian terbit buku tabungan Taseto baru atas nama dr Hardi. “Uang itu baru kembali lagi ke rekening bu Valentina, setelah jatuh tempo enam bulan kemudian. Selain dapat LCD TV, bu Valentina dan dr Hardi menerima bunga yang totalnya sekitar Rp 14 juta,” papar Nurul.
Empat saksi lain dalam sidang sebelumnya, yakni Setyaningrum, Listyawati, Lisa hingga Dito lebih menjelaskan soal proses SOP yang harus dijalankan saat pembukaan
hingga penutupan rekening baru. “dr
Hardi malah komplain tidak pernah merasa membuka rekening tersebut,” jelas Listyawati, mantan Funding Branch Manager Bank BTPN Malang.
Hendri Irawan, anak almarhum
dr Hardi, yang mengajukan pra peradilan hingga kasus yang sudah 12 tahun dibuka kembali mengaku, jika dirinya mengetahui ayahnya punya rekening Taseto di Bank BTPN Malang berdasarkan keterangan ayahnya saja. Dia tidak mengetahui fakta yang sebenarnya. “Papa saya hanya cerita punya rekening itu,” kata dia.
Namun demikian, Hendri tidak pernah tahu bentuk fisik seperti buku tabungan yang bertuliskan uang rekening Rp 500 juta tersebut. Termasuk, proses pembukaan hingga penutupan rekening. (rudi)