JatimTerkini.com
PemiluPolitikSurabaya

Sistem Pemilu 2024 Gaduh, Proporsional Tertutup Atau Terbuka. Pakar Politik : Keduanya Konstitusional

Oleh Sri Sugeng Pujiatmoko - Advokat dan Konsultan Pemilu
Sri Sugeng Pujiatmoko – Advokat dan Konsultan Pemilu

SURABAYA (BM) – Beberapa waktu lalu publik  dihebohkan dengan cuitan Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Kehebohan tersebut terkait informasi yang ia dapat bahwa, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan Pemilihan Umum atau Pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi tengah melaksanakan Yudisial Review tentang sistem pemilu yang diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup tengah menjadi sorotan sejumlah pihak.

Sri Sugeng Pujiatmiko, SH, Pemerhati Pemilu, mengatakan, pengujian sistem pemilu sudah babak akhir, menunggu putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, yang akan menentukan penggunaan sistem pemilu proporsional tertutup atau terbuka.

“Parpol dan penyelenggara pemilu yang sangat berkompeten dalam penggunaan sistem pemilu tersebut, karena berimbas secara langung, karena KPU harus menyiapkan regulasi terkait dengan perubahan sistem pemilu, dan parpol akan (mungkin) menata ulang nomor urut, sedangkan masyarakat pemilih hanya menunggu sistem pemilu yang akan diberlakukan dan diputus Mahkamah Konstitusi, meskipun masyarakat pemilih menghendaki dapat secara langsung memilih calonnya (proporsional terbuka) dan bukan memilih partai (proporsional tertutup)” Ujar mantan Komisioner Bawaslu Jawa Timur ini, Minggu (4/6/2023).

Alasan kenapa memilih kedua sistem pemilu tersebut lanjut Sri, yakni karena sudah banyak dibicarakan di publik, dimana masing-masing pihak saling bersikukuh mempertahankan dalil-dalilnya.

“Sistem proporsional tertutup atau terbuka adalah sebuah pilihan, bukan karena inkonstitusional atau konstitusional, karena sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup pernah sama-sama digunakan dalam beberapa kali pemilu, maka kita harus menyatakan sistem proporsional terbuka dan tertutup adalah konstitusional” ulas pria yang juga sebagai Advokat dan Konsultan Pemilu ini.

Menurut Sri Sugeng, tinggal sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memutus sistem pemilu memilih yang mana, tentu dengan pertimbangan yang komprehensif dengan tujuan untuk memperbaikan sistem demokrasi. Jika Mahkamah menolak berarti kembali ke sistem proporsional terbuka sebagaimana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, namun jika Mahkamah menerima permohonan Pemohon, maka pemilu tahun 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup.

“Namun jika Mahkamah mengabulkan permohonan, tetapi pelaksanaan sistem proporsional tertutupnya dilaksanakan pada pemilu tahun 2029, maka pemilu tahun 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Sembari menunggu putusan Mahkamah beredar info bahwa Mahkamah akan memutuskan sistem pemilunya menggunakan proporsional tertutup, lalu publik menjadi gaduh, dan ada yang “mengancam” kewenangan dan anggaran Mahkamah akan diperlemah” tuturnya.

Sri Sugeng menambahkan, maka tentu MK dalam memutuskan melihat situasi dan kondisi politik, dan tidak gegabah, karena kedua sistem tersebut konstitusional itu hanya soal pilihan, sehingga Mahkamah akan memilih yang mana yang akan digunakan. Atas putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat (final and binding), maka penyelenggara pemilu, peserta pemilu, bahkan para calon legislatif tidak dapat melakukan upaya hukum lain, kecuali mematuhi putusan Mahkamah.

“Sistem proporsional terbuka berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sistem keterpilihan calon anggota legislatif didasarkan pada perolehan suara terbanyak, dengan sistem konversi suara menggunakan saint league, sedangkan system proporsional tertutup konversi suara hanya untuk menghitung perolehan jumlah kursi parpol di setiap dapil, dan keterpilihan calon anggota legislatif ditentukan oleh nomor urut dalam satu dapil berdasarkan perolehan jumlah kursi parpol dalam satu dapil” paparnya.

Misalnya, sambung Sri, Parpol A di dapil 1 mendapatkan 2 (dua) kursi, maka calon legislatif yang jadi adalah nomor urut 1 dan nomor 2 meskipun mendapat suara sedikit dibanding nomor 5 (misalnya) yang mendapat perolehan suara terbanyak, karena menggunakan sistem proporsional tertutup.

“Jadi, dengan menggunakan sistem proporsional tertutup, keterpilihannya didasarkan pada nomor urut, jika sistem proporsional terbuka keterpilihannya didasarkan pada perolehan suara terbanyak yang mempresentasikan pilihan masyarakat, terlepas ada atau tidaknya “vote buying” (beli suara) dalam keterpilihannya atau yang dikenal dengan “money politic” atau “politik uang”. Imbuhnya.

Namun, dalam sistem tertutup pun juga tidak terlepas dari “vote buying” (beli suara) atau “money politic” atau “politik uang”. Maka sesungguhnya jika terkait dengan dalil Pemohon yang mendalilkan persiangan internal parpol sangat sengit dan money politic semakin meningkat, sehingga “biaya politik” semakin mahal.

“Jika hal itu yang menjadi dalil Pemohon, maka sesungguhnya peran Bawaslu bersama Sentra Gakkumdu yang harus ditingkatkan dalam penegakkan hukumnya, dan bukan ibarat wasit sebagai “tukang semprit” yang tidak memiliki kartu merah” pungkasnya.