JatimTerkini.com
OpiniTerkini

Nurani dan Persamaan Tanpa Perbedaan Hukum Hanya Sebuah Dongeng, Faktanya Hukum Buta untuk Masyarakat Miskin

Ironis penegakan hukum yang ibarat sebilah pisau tajam kebawah dan tumpul keatas ternyata bukan dongeng namun fakta, teriak lantang nurani hanya dihati para aparat dan pengadil hanya sebuah teori, tapi implementasi Equality Before the Law persamaan tanpa perbedaan hukum, bagi setiap manusia hanya kamuflase.

Kasus koruptor trilyunan dengan kasus maling ayam sangat jauh pemaknaan serta ketimpangannya namun hukuman yang diterima dari keduanya berbeda tipis bahkan lebih ngeri maling ayam dimana dengan mencuri untuk bisa melanjutkan hidup, sedangkan koruptor, mencuri hanya untuk memperkaya hidupnya dan kroninya. Ini sungguh tidak adil, apa benar hukum sudah buta dan nurani sudah mati?

Keadilan hukum yang buta untuk masyarakat kecil dapat diartikan sebagai ketidakadilan hukum yang dialami oleh masyarakat miskin dan tidak mampu. Bisa jadi ketidakadilan hukum ini dapat terjadi karena proses penegakan hukum yang tidak adil.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakadilan hukum bagi masyarakat kecil, seperti penegakan hukum yang timpang, penegakan hukum yang lebih berpihak kepada orang yang dekat dengan kekuasaan dan uang, aparat penegak hukum yang hanya memahami kasus hukum berdasarkan aturan perundang-undangan, tanpa memahami konteks sosialnya, dan minimnya advokat pro bono.

Contoh kasus sederhana, yang seharusnya bisa diselesaikan secara damai musyawarah, namun karena yang mengkasuskan orang dikenal atau tokoh berpengaruh otomatis keberpihakan para aparat dan pengadil, kasus tersebut merembet menjadi perkara hukum.

Namun yang menjadi pertanyaan, ketika aparat melakukan penyidikan dan penyelidikan penanganan tidak profesional, hukum menurut versinya diperkeruh ketidakpaham pasal yang akan dikenakan kepada terduga yang belum tentu bersalah.

Setelah itu pengadil dalam hal ini kejaksaan hanya sekedar mengikuti irama aparat yang memproses tanpa mendalami, tanpa mengkaji kembali kebenaran untuk keadilan, hanya “tawadhu’” pada berkas aparat tanpa melihat dan mendengar nurani keadilan? Ada jaminankah apa yang diproses oknum aparat pasti sesuai undang-undang hukum? Apakah pasti orang yang berhadapan dengan proses hukum, orang yang bersalah??

Yang membuat mirisnya lagi, yang berhadapan dengan hukum kebanyakan merupakan orang-orang yang tak mampu secara ekonomi atau materi, tidak menutup kemungkinan diskriminasi dan kriminalisasi bakal berlaku, padahal sejatinya siapapun itu semua sama dimata hukum, tak ada pembeda baik pejabat, polisi, kejaksaan, politikus, tokoh berpengaruh tidak ada yang kebal terhadap hukum.

Opini inilah kemudian muncul ditengah-tengah masyarakat dimana mempunyai perspektif dampak dari ketidakadilan hukum bagi masyarakat kecil seperti berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, lalu tujuan hukum tidak tercapai karena hanya sebagian kelompok masyarakat yang bisa mengakses dan memperoleh perlindungan hukum.

Untuk itu harapannya demi mewujudkan keadilan hukum bagi semua, perlu upaya dan kerja keras semua pihak. Keadilan milik semua manusia. Tidak perduli kaya dan miskin. Tidak perduli apapun strata sosialnya. Tidak perduli apapun jabatannya. Tidak perduli siapapun orang tuanya. Itulah makna dari prinsip dasar: persamaan di hadapan hukum, equality before the law, persamaan tanpa perbedaan hukum, bagi setiap manusia.