
Surabaya-JATIMTERKINI.COM: Karena latihan untuk Uprak (Ujian Praktik) PJOK di sekolah, nyawa seorang siswa berusia 14 tahun harus melayang. Siswa SMPK Angelus Custos kelas 9 bernama Steven Sukha Hariyadi ini meninggal akibat Kesetrum setelah tak sengaja menginjak kabel AC sekolahan yang mengelupas.
Tragisnya lagi, sejak peristiwa yang ‘memakan’ korban siswa dibawah umur itu, hingga kini tidak ada yang mau bertanggungjawab. Akhirnya orangtua korban terpaksa mengadukan hal tersebut ke Polrestabes Surabaya.
Suasana duka masih menyelimuti keluarga korban di kawasan Perum Lembah Harapan Surabaya. Ketika rumah orangtua Steven di datangi sejumlah awak media pada Minggu (4/5/2025) siang, juga tampak sepi.
Tak lama kemudian, keluar pasangan paruh baya, bernama Tanu Hariyadi dan Christine. Keduanya ternyata orangtua dari Steven, korban sengatan listrik dari kabel AC sekolahan.
Namun sebelum mempersilahkan awak media masuk, Christine meminta ijin berdoa di depan altar almarhum Steven.
“Saya mohon ijin berdoa dulu ya,” tutur Christine pelan, dengan mata berkaca-kaca.
Pasangan ini sepertinya tak bisa menyembunyikan kesedihannya, usai anak ragilnya mendadak meninggal di sekolah. Kedua mata mereka tampak sembab ketika menemui sejumlah awak media di rumahnya.

“Almarhum Steven berusia 14 tahun. Dia harapan kami sebagai satu-satunya anak laki-laki. Ketika kami nanti sudah tua, harapan kami ada pada anak laki-laki. Tetapi sekarang dia sudah tidak ada,” ujar Tanu seraya menahan air mata.
Diketahui, Steven Sukha Hariyadi merupakan siswa SMPK Angelus Custos, sekolah yang masih satu Yayasan dengan SMAK Frateran. Steven dikenal anak yang baik. Ia anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama bernama Tania Sidharta Hariyadi. Kakak yang kedua Jaisen Angelina Hariyadi.
Steven mungkin jadi harapan satu-satunya sebagai anak laki-laki yang akan meneruskan karir dan menjaga orangtua kelak. Bahkan, sebelum lulus SMP, Steven sudah didaftarkan ke SMAK Frateran, yang satu lokasi dan satu Yayasan, yaitu Yayasan Mardi Wiyata.
“Saya sudah mendaftarkan Steven di SMAK Frateran. Karena kakak-kakaknya juga sekolah di sana,” kata Tanu.
Dengan didampingi istrinya yang memegang pigora foto Steven, Tanu pun menceritakan kronologis meninggalnya anak kesayangannya itu.
Menurut Tanu, kejadian itu berawal ketika Steven dan teman-temannya ada tugas kelompok latihan Ujian Praktek (Uprak) PJOK.
Awalnya, Steven dan kelompoknya hendak latihan tugas di rumah temannya di daerah Kenjeran. Bahkan sempat meminta ijin pada Wakil Kepala Sekolah Bagian Kurikulum dan Guru IPA, Fisika. Namun Steven dan teman-temannya dilarang dan disarankan untuk mengerjakan Uprak PJOK di sekolah saja. Bahkan Wakil Kepala Sekolah tersebut menjanjikan akan memfasilitasi.

Hingga pada 28 Maret 2025, yang saat itu hari libur sekolah, Steven berpamitan pergi ke sekolah SMPK Angelus Custos.
Sekitar Pukul 11.23 WIB pagi, Steven dan teman-temannya berkumpul SDK Santo Xaverius Surabaya, Jalan Kepanjen No. 12, Surabaya, dan hendak menuju kelas 9B SMPK Angelus Custos.
“Sesampai di sana, kelas sekolah tutup. Mereka kemudian pergi ke lapangan sekolahan dan ternyata ada kakak kelas SMAK Frateran sedang menggelar latihan P5. Mereka akhirnya memutuskan latihan Gazebo SMAK Frateran Lantai IV,” jelas Tanu.
Di Gazebo SMAK Frateran Lantai IV, Steven dan teman-teman kelompoknya menggelar latihan Uprak PJOK. Di sela-sela latihan Steven sempat melompat ke genteng belakang Gazebo. Dan di situlah dia terkena tersengat tembaga AC dalam keadaan terkelupas.
“Dia sempat melompat ke pagar. Kemudian melewati AC. Kemungkinan ingin mengambil posisi untuk pengambilan gambar. Tetapi, dia malah kesetrum. Kesaksian teman-temannya Steven sempat teriak ‘aku kesetrum lalu mematung’. Sekitar 40 detik Steven dan jatuh. Kepalanya terbentur pagar,” ungkap Tanu dengan menahan tangis.
Pria yang berprofesi sebagai pengacara ini kemudian mengatakan, setelah anaknya jatuh dan tidak sadarkan diri, teman-temannya dan tiga kakak kelasnya dari SMAK Frateran langsung menolong.
“Setelah Steven diangkat dan dipindahkan ke gazebo, korban kemudian langsung dilarikan ke Rumah Sakit Adi Husada Undaan Wetan,” urai Tanu.
Meski sempat dilakukan penyelamatan, namun sayang nyawa Steven tidak tertolong. Sekitar pukul 12.35 WIB, pihak RS Adi Husada menyatakan Steven meninggal dunia. Sementara teman-teman Steven dan kakak kelasnya berusaha menghubungi kakak Steven dan mengabarkan kejadian tersebut.
Kejadian ini langsung membuat Tanu dan Christine shok. Mereka tidak menyangka anaknya yang berangkat sekolah dalam keadaan segar bugar diketahui sudah meninggal dunia secara tragis.
Sewaktu jenazah dibawa ke rumah duka Adijasa di Jalan Demak 90-92, Surabaya, Tanu sempat meminta pihak Adi Jasa yang memandikan jenazah anaknya untuk mengambil gambar. Saat itu diketahui pada jasad Steven terlihat memprihatinkan. Bibirnya berwarna biru. Seluruh tubuhnya tampak bercak merah, luka pada lengan kiri dan kedua kaki luka.
“Sepertinya sel-selnya pecah atau apa karena kesetrum,” tandas Tanu seraya menunjukkan foto korban.
Peristiwa tragis itu membuat keluarga Steven benar-benar shok berat. Bahkan Christine sempat putus asa dengan menenggak banyak obat untuk mengakhiri hidupnya. Untungnya, kejadian itu ketahuan oleh Tanu.
Pasca kejadian itu, Tanu kemudian berusaha untuk mendapatkan keterangan dari pihak sekolah terkait kronologis yang sebenarnya. Ia juga menghubungi melalui pesan WhatApp, tetapi tidak mendapatkan jawaban.
“Saya hanya ingin tahu tolong detail peristiwa yang dialami anak saya dan bagaimana tanggungjawab dari pihak sekolah. Bahkan saat saya berkunjung ke sekolah, mereka kurang merespon. Pihak sekolah tidak mempunyai ketulusan untuk mengakui kekeliruannya dan penyesalan berduka cita. Mereka tidak datang ke rumah kami. Padahal seluruh teman-teman almarhum datang ke rumah. Sebaliknya pihak sekolah tidak ada empati sama sekali,” kata Tanu lagi.
Lantas, siapa yang bertanggung-jawab atas meninggalnya Steven di sekolah lantaran sengatan listrik dari kabel AC yang mengelupas?
Puncaknya pada 10 April 2025, Tanu memutuskan untuk mengadukan peristiwa tersebut ke Polrestabes Surabaya dengan Laporan Pengaduan Masyarakat Nomor: LPM/549/IV/2025/SPKT/POLRESTABES SURABAYA.
Sebagai orangtua, Tanu berharap akan mendapatkan keadilan atas peristiwa tragis yang menimpa anaknya di sekolah. “Kami berharap ada keadilan untuk kejadian yang menimpa anak kami,” harap Tanu.
Tidak hanya itu, Tanu juga melaporkan hal tersebut ke Walikota Surabaya. Tujuannya agar ada atensi, sehingga dikemudian hari tidak ada lagi korban yang menimpa para siswa yang notabene masih anak-anak tersebut.
Sementara, pihak sekolah yang dikonfirmasi sejumlah awak media, Senin (5/5/2025), enggan memberikan keterangan.
“Mohon maaf kami belum bisa memberikan klarifikasi. Karena bukan kewenangan kami. Tapi akan kami koordinasikan dengan kepala sekolah dan kuasa hukum sekolah. Kami nanti pasti berikan klarifikasi,” papar Waka Kesiswaan SMPK Angelus Custos, Triduo Yunani, yang akrab dipanggil Marcel. (Rud)