
Surabaya-JATIMTERKINI.COM: RUU Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kini tengah digodok di Komisi III DPR RI. Meski belum disah-kan RUU KUHAP banyak mendapat catatan khusus maupun kritikan dari para Akademisi Fakultas Hukum se Jawa Timur.
Itu terungkap dalam Seminar Nasional dengan tema “Modernisasi Penguatan Penegakan Hukum Polri Dalam RUU KUHAP” yang digelar di Graha Bhayangkara, Universitas Bhayangkara (Ubhara), Jalan Ahmad Yani, Surabaya, Rabu (7/5/2025).
Sejumlah akademisi dari berbagai universitas tampak hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut. Yakni, Guru Besar Hukum Administrasi, Universitas Airlangga Prof. Dr. Sri Winarni, S.H., M.H., Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Prof. Suparto Wijoyo, S.H., M.Hum., Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trunojoyo Prof. Deni Setya Bagus Yuherawan, S.H., M.S., dan Pakar Hukum Pidana Universitas Bhayangkara Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H.
Dalam kesempatan tersebut Sholehuddin memberikan catatan tersendiri terkait RUU KUHAP. Diantaranya, penghentian perkara di tingkat penyelidikan, tidak diaturnya penghentian penyelidikan sebagai obyek praperadilan, tidak diaturnya batasan waktu dalam penyelidikan dan penyidikan, aturan yang tumpang tindih, adanya mekanisme restorative justice (keadilan restoratif) hingga penerapan pasal 86 ayat 1 RUU KUHAP.
Sebab, kata Sholehuddin, dalam pasal 86 ayat 1 RUU KUHAP disebutkan “Dalam melakukan penetapan tersangka, penyidik dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan praduga bersalah dengan cara mengumumkan penetapan tersangka kepada publik dan atau mengenakan atribut tertentu kepada tersangka yang menunjukan tersangka bersalah”.

Larangan ini, menurut Sholehuddin, merupakan kemunduran, bukan lagi sebagai kemajuan atau modernisasi dalam penerapan hukum. Dosen Fakultas Hukum Ubhara ini menilai bahwa mengumumkan penetapan tersangka kepada publik merupakan bentuk transparansi dan akuntabel kinerja Polri.
Sementara, di sela-sela acara Rektor Ubhara Surabaya, Irjen Pol (Purn) Drs. Anton Setiaji, S.H., M.H., mengatakan bahwa sebagai akademisi pihaknya berkewajiban memberikan refleksi maupun catatan dan kritik terhadap RUU KUHAP yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Polri.
“Sebagai akademisi, kita berusaha merefleksikan kewenangan dan tugas-tugas pokok dari kepolisian. Karena banyak Undang Undang yang berkaitan dengan Polri. Sehingga kita dari akademisi memberi masukan dan kritikan,” ujar Anton.
Lulusan AKPOL terbaik 1983 ini menyatakan bahwa saat ini seluruh Fakultas Hukum se-Jawa Timur ikut memberi sumbangsih dan saran terkait kewenangan Polri. Sehingga, nantinya penerapan KUHAP akan seimbang antara tugas dan kewenangan Polri.
“Di RUU KUHP ada kewenangan yang berkurang dan bertambah. Karena itu akademisi di bidang hukum berharap dapat memberi saran. Sehingga, ada keseimbangan antara aparat peradilan yang lainnya,” kata mantan Kapolda Jatim ini menjelaskan.
Ketika disinggung implementasi RUU KUHP yang akan disahkan, Anton berharap, akan ada mekanisme yang jelas. Sehingga tidak merepotkan masyarakat, terutama masyarakat yang terlibat dan berurusan langsung dengan pelaku tindak pidana.
“Harapan kita RUU KUHP yang sedang digodok ini dapat menjadi acuan bagi masyarakat. Terutama hal-hal krusial di acara hukum pidana,” paparnya.
Sedangkan salah satu mahasiswa S2 Ubhara, Rauli Dame SH mengatakan, bahwa dalam RUU KUHAP masih banyak pasal-pasal yang harus diperjelas. “Diantaranya pasal 86 KUHAP seperti yang disampaikan narasumber tadi ya. Padahal hal itu (mengumumkan tersangka) sangat penting untuk disampaikan. Jadi harus ada keterbukaan,” tambahnya.

Selain itu, sebagai mahasiswa S2 yang masih aktif, Rauli juga berharap agar acara diskusi maupun seminar untuk lebih sering digelar. “Kita berharap acara-acara seperti ini lebih sering digelar ya. Ini sangat perlu dilakukan. Tujuanya ya untuk mengupgrade pengetahuan bagi kami,” pungkasnya. (Rud)