
Surabaya-JATIMTERKINI.COM: Kejanggalan demi kejanggalan dalam sidang kasus dugaan perzinahan yang menjerat Pratu RA kembali menjadi sorotan publik. Sidang yang seharusnya dengan agenda pembacaan Duplik, mendadak langsung diteruskan dengan pembacaan putusan, Selasa (17/9/2025).
Di dobelnya dua agenda sidang sekaligus dalam satu hari itu tentunya menimbulkan tanda tanya besar. Seolah-olah menunjukan bahwa putusan atas kasus tersebut sudah dipersiapkan sebelumnya, yang diduga tanpa mempertimbangkan fakta-fakta persidangan. Dugaan itu semakin kuat ketika Ketua Majelis Hakim Kolonel Laut H. Amriandie SH., MH., memvonis Pratu RA dengan hukuman 8 bulan penjara, dengan tambahan 20 hari dan sanksi pemecatan dari TNI AD. Meski lebih ringan satu bulan dari tuntutan Oditur Militer, namun vonis itu dinilai tak berdasarkan rasa keadilan.
Kuasa hukum terdakwa Pratu RA, Letda Chk Fery Junaidi Wijaya SH., MH., mengaku kecewa atas putusan tersebut. “Saya sangat kecewa terhadap putusan tersebut karena hakim ternyata mengabaikan fakta persidangan, seperti keterangan terdakwa dipersidangan tidak dipakai sebagai alat bukti. Menurut Majelis Hakim keterangan terdakwa bertolak belakang dengan alat bukti yang lain,” ujar Fery pada awak media, Rabu (17/9/2025) malam.
Anehnya lagi, keterangan Pratu RA di dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tertanggal 14 Maret 2025 yang sudah dicabut di muka persidangan, malah dianggap oleh hakim sebagai fakta hukum. Padahal, jika BAP dicabut oleh terdakwa seharusnya sidang digelar hanya berdasarkan fakta-fakta di persidangan.
Pencabutan BAP dilakukan terdakwa, menurut Fery, karena dalam prosesnya diduga kuat terjadi intimidasi hingga penganiayaan. Bahkan foto terdakwa dengan wajah dan mata lebam akibat pukulan itu juga sudah diserahkan sebagai alat bukti. Namun lagi-lagi apa yang diajukan terdakwa dalam persidangan tidak pernah digubris oleh majelis hakim.
“Terkait dengan penganiayaan menurut majelis hakim dianggap bukan pro justicia karena dilakukan diluar proses hukum harusnya terdakwa melaporkan adanya tindak pidana penganiayaan tersebut di Polisi Militer. Itu pendapat hakim dan kami kecewa,” jelas Fery.
Begitu juga barang bukti tulisan dalam secarik kertas, yang sudah dibantah oleh Ahli Grafologi, dengan menyatakan bahwa tulisan itu tidak identik sama sekali dengan tulisan tangan Dewi Wulandari juga diabaikan oleh majelis hakim. Sehingga, sidang di Pengadilan Militer III-12 Surabaya yang berlangsung beberapa pekan ini menunjukan seolah-olah terdakwa tidak punya hak sama sekali untuk melakukan pembelaan.
“Harusnya bukti surat dari Ahli Grafologi yang menyatakan jika tulisan tangan tidak identik itu diuji di persidangan. Dan Ahli Grafologi seharusnya dihadirkan di persidangan agar dapat menjadi fakta dalam persidangan,” ungkap Fery.
Sehingga dengan adanya putusan yang dinilai tak memenuhi rasa keadilan itu, Fery sebagai kuasa hukum terdakwa seketika menyatakan banding. Terlebih lagi, lanjut Fery, barang bukti yang diajukan oleh Oditur Militer sangat lemah. Barang bukti yang dihadirkan di persidangan tidak ada yang dapat membuktikan adanya peristiwa dugaan perzinahan, sebagaimana Pasal 284 KUHP, seperti yang didakwakan pada Pratu RA.
“Sangatlah ironis sekali ketika hakim berkeyakinan dengan adanya bukti petunjuk, padahal yang seharusnya bukti petunjuk tersebut harusnya berkaitan dengan bukti bukti yang lain dalam fakta persidangan. Dan bukti yang diajukan Oditur tidak ada yang mengarah adanya dugaan tindak pidana perzinahan,” terang Fery.
Kekecewaan atas putusan majelis hakim ini juga dilontarkan Kuasa Hukum Dewi Wulandari, Yasin Nur Alamsyah SH., MH. Menurutnya, putusan tersebut sangat berdampak serius terhadap klien-nya. Bahkan, Yasin menduga adanya rekayasa dan upaya kriminalisasi terhadap klien-nya.

“Perlu saya tegaskan, klien kami Dewi Wulandari sejak awal hanyalah saksi, bukan terdakwa. Namun karena perkara yang didalilkan adalah perzinahan, tentu stigma dan konsekuensinya tidak mungkin berhenti pada terdakwa saja. Tuduhan itu secara otomatis menyeret nama baik klien kami. Inilah yang menjadi perhatian serius kami, jangan sampai ada kriminalisasi saksi dengan tuduhan yang dibangun dari asumsi dan rekayasa,” tegas Yasin saat press conference, Rabu (17/9/2025).
Yasin menyatakan, seharusnya Majelis Hakim tidak bertumpu pada BAP yang sudah dicabut. Dan harus melihat fakta-fakta di persidangan, termasuk adanya barang bukti tulisan tangan dalam secarik kertas yang diduga palsu.
“Kami sudah sampaikan di persidangan bahwa tuduhan tersebut hanya bertumpu pada keterangan sepihak terdakwa dalam BAP yang sudah dicabut, serta potongan surat yang bahkan oleh Ahli Grafologi dinyatakan tidak identik dengan tulisan tangan Dewi Wulandari. Bukti surat ini jelas-jelas bermasalah, dan jika bukti yang dipalsukan seperti itu tetap dipakai sebagai dasar penghukuman, maka ini preseden buruk bagi dunia Peradilan Militer,” urai Yasin pada awak media.
Yasin juga kecewa atas sikap hakim mengesampingkan bukti-bukti yang diajukan olehnya. Padahal bukti yang diajukan tersebut merupakan fakta baru yang mengungkap tidak ada peristiwa dugaan perzinahan, seperti yang dituduhkan oleh Oditur Militer.
“Selain itu, kami memiliki bukti objektif berupa histori digital dari laptop Dewi yang membuktikan bahwa pada malam yang disebut-sebut sebagai waktu perzinaan, klien kami sedang bekerja menyusun dokumen, terbukti dari screenshot data modified pada file. Fakta ini diabaikan begitu saja oleh oditur maupun majelis hakim. Artinya, fakta persidangan yang konkret justru dikesampingkan, sementara asumsi dan narasi sepihak yang dijadikan pegangan,” papar Yasin.
Yasin menilai, dengan tidak digubrisnya fakta-fakta persidangan, ditambah lagi lemahnya bukti-bukti yang diajukan hingga putusan tak berkeadilan, bukan lagi persoalan penafsiran. Melainkan lebih pada lemahnya integritas penegakan hukum di Peradilan Militer.
“Dari keseluruhan proses ini, kami melihat perkara ini sarat rekayasa. Tuduhan perzinaan tidak pernah terbukti di persidangan, tidak ada saksi mata yang melihat, tidak ada bukti forensik, dan keterangan saksi justru membantah. Tetapi replik oditur dan putusan hakim malah menutup mata dari fakta-fakta tersebut. Ini bukan lagi soal perbedaan penafsiran, tapi sudah soal integritas penegakan hukum,” kata Yasin lagi.

Untuk itu, Yasin akan segera melaporkan Majelis Hakim yang menyidangkan kasus tersebut ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). “Oleh karena itu, langkah kami jelas, kami akan mengajukan laporan resmi ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim yang terlalu jelas mengabaikan asas due process of law san Pro Justitia. Selain itu, kami juga sedang menyiapkan laporan pidana terkait penggunaan surat palsu yang dipakai sebagai alat bukti di persidangan. Kami tidak bisa membiarkan proses hukum berjalan di atas kebohongan dan rekayasa. Sekali lagi, saya tegaskan, hukum tidak boleh didasarkan pada asumsi, apalagi pada bukti yang cacat dan palsu. Klien kami berhak atas perlindungan nama baik, dan kami akan menempuh semua jalur hukum untuk memastikan kebenaran ditegakkan,” tambahnya. (rud)

