JatimTerkini.com
Headline JTHukrimSurabayaTerkini

PN Surabaya Kabulkan Penangguhan Penahanan Nenek Siska, Kuasa Hukum Apresiasi Hakim

Dari ki-ka: Boyamin Saiman SH., MH., Aris Eko Prasetyo SH., MH., dan tim hukum lainnya. Foto: ist

Surabaya-JATIMTERKINI.COM: Pengadilan Negeri (PN) Surabaya akhirnya mengabulkan permohonan penangguhan penahanan terhadap nenek Soeskah Eny Marwati alias Fransiska Eny Marwati. Sedangkan kuasa hukum terdakwa mengapresiasi sikap majelis hakim yang mengabulkan permohonan tersebut.

Fransiska terjerat dalam perkara dugaan pemalsuan surat keterangan dari Kelurahan Ngagelrejo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya. Sidang yang digelar Rabu (2/7/2025), Ketua Majelis Hakim Purnomo Hadiyarto menyatakan, bahwa penangguhan diberikan lantaran adanya jaminan dari anak terdakwa, yaitu Ardiansyah, serta tim Penasihat Hukum Boyamin Saiman, Aris Eko Prasetyo, Mochamad Taufik Wicaksono, dan Khrisna Suryana dari Kantor Hukum Boyamin Saiman CH Harno & Tatis Law Firm.

“Majelis mengabulkan penangguhan karena terdakwa dipandang kooperatif, tidak melarikan diri, dan tidak menghilangkan barang bukti,” jelas Hakim Purnomo.

Sementara, kuasa hukum menyambut baik keputusan tersebut. Boyamin Saiman menilai, permohonan penangguhan diajukan demi menghindari permasalahan hukum yang lebih besar. Pasalnya perkara tershut seharusnya sudah kedaluwarsa.

“Surat keterangan yang dipermasalahkan itu sudah ada sejak tahun 2009 dan dijadikan dasar laporan oleh pelapor, Linggo Hadiprayitno. Bila mengacu pada daluwarsa 12 tahun, maka perkara ini seharusnya berakhir pada 2021 atau 2022,” tandas Boyamin.

Dikatakan Boyamin, meskipun pihak pelapor baru melapor ulang pada tahun 2017, namun substansi surat sudah diketahui sejak jauh hari. Ia menyebut, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) halaman 13 dari belakang terungkap adanya surat klarifikasi dari Kelurahan Ngagelrejo bahwa Soeskah memang sudah tidak tinggal di wilayah tersebut sejak 2009.

“Jadi aneh kalau masih dipermasalahkan surat keterangan soal domisili yang diterbitkan pada 2009. Karena faktanya, sejak 1996, klien kami sudah pindah ke Manyar Rejo,” terang Boyamin.

Hal yang sama dikatakan Aris Eko Prasetyo SH MH. Ia juga mengapresiasi putusan dari majelis hakim yang mengabulkan penangguhan penahanan terhadap kliennya itu. Menurutnya, penahanan terhadap kliennya tidak berdasar.

“Tentu kami mengapreasi penangguhan penahanan ini. Dan ini menunjukan bahwa pengadilan masih mempunyai ruang yg obyektif bagi masyarakat pencari keadilan, mengingat Terdakwa memang telah berusia lanjut 67 tahun, yang membutuhkan perawatan secara rutin. Sehingga alasan penahanan untuk melarikan diri jelas tidak mungkin, apalagi selama proses hukum terdakwa juga selalu kooperatif, terlebih keluarga serta penasehat hukum juga menjamin bahwa selama Terdakwa ditangguhkan penahanannya akan senantiasa kooperatif. Adapun untuk alasan menghilangkan barang bukti juga sangat tidak mungkin karena sdh dalam penyitaan dan berada pada Penuntut Umum. Demikian pula untuk mengulangi tidak pidana Terdakwa sama sekali tidak pernah membuat surat palsu apalagi mengulangi untuk membuat. Singkatnya penetapan penangguhan penahanan ini telah sangat berdasar hukum,” papar Aris.

Diketahui, kasus ini berawal dari sengketa rumah di Kendalsari Selatan II, Rungkut, Surabaya, antara Linggo Hadiprayitno dan Soeskah. Dalam sengketa tersebut, Linggo sempat menang di tingkat banding melalui putusan No.729/PDT/1996/PT.Sby, tertanggal 16 Mei 1997.

Namun, dalam proses kasasi, Soeskah melalui pengacaranya saat itu, Sudiman Sidabukke, S.H., C.N., melampirkan surat keterangan dari Kelurahan Ngagelrejo yang menyatakan bahwa dirinya belum menerima salinan putusan banding karena sudah pindah domisili sejak 1 Oktober 1996.

Surat tersebut diduga digunakan untuk memperpanjang masa pengajuan kasasi. Mahkamah Agung melalui putusan No. 2791 K/Pdt/2000 akhirnya mengabulkan kasasi Soeskah pada 4 Juli 2003, yang membatalkan kemenangan Linggo.

Namun, hasil penyelidikan mengungkap bahwa Kelurahan Ngagelrejo tidak pernah mengeluarkan surat keterangan tersebut, sehingga menimbulkan dugaan pemalsuan dokumen.

Boyamin Saiman mengklaim bahwa perkara ini sudah kadaluarsa sejak 2022. Namun, JPU menegaskan bahwa masa daluwarsa belum habis, mengacu pada Putusan MA No. 825 K/Pid/2014, yang menyatakan daluwarsa dimulai saat surat palsu digunakan dan menimbulkan dampak hukum, bukan saat surat dibuat.

Dalam hal ini, surat tersebut dianggap berdampak langsung terhadap putusan Mahkamah Agung tahun 2003, namun laporan ke polisi baru dilakukan pada Januari 2017. (Rud)