JatimTerkini.com
Headline JTHukrimSurabayaTerkini

Mengulang PKPU yang sudah diputus homologasi, PT CESS tak punya legal standing dan layak ditolak

Kuasa hukum PT Cahaya Fajar Kaltim (CFK) Johanes Dipa Widjaja SH SPsi MH MM (kanan) dan Beryl Cholif Arrachman SH saat persidangan di Pengadilan Niaga Surabaya. Foto: ist

JATIMTERKINI.COM: Sidang permohonan PKPU kali ketiga oleh PT CESS (Cahaya Energi Semeru Sentosa) dengan termohon PT CFK (Cahaya Fajar Kaltim) kembali digelar. Namun kali ini persidangan digelar secara e court (online) dengan agenda kesimpulan, Selasa (20/2/2024).

Dalam keterangannya, Johanes Dipa selaku Kuasa Hukum PT CFK mengatakan, bahwa pihaknya tetap menolak dalil-dalil permohonan PKPU a quo dan bukti-bukti yang diajukan oleh PT CESS maupun
kreditor lain, yakni PT CNEC Engineering Indonesia, kecuali yang diakui secara tegas
kebenarannya oleh pihak termohon.

Bahkan dalam kesimpulan PT CFK yang dibacakan Johanes, dalil permohonan PKPU a quo yang menyebutkan bahwa tagihan PT CESS sebesar Rp 29.659.900.478 dan tagihan PT CNEC Engineering Indonesia sebesar Rp 2.749.623.893 sebagai tagihan yang belum ditagihkan atau belum terverifikasi dalam proses PKPU sebelumnya adalah bohong. Dan, hal itu disebut sebagai ketidakjujuran pemohon PKPU.

Pasalnya, tagihan tersebut sudah pernah ditagihkan. Tetapi, telah dibantah oleh termohon PKPU sebagaimana termuat dalam Surat Nomor: 001/P/PKPU-CFK/CESS/VII/2023 tertanggal
21 Juli 2023 dan Surat Nomor: 001/P/PKPU-CFK/SSI/VII/2023 tertanggal 21 Juli 2023. Bahkan, bantahan tersebut telah diajukan keberatan oleh PT CESS dan PT CNEC Engineering Indonesia sebagaimana termuat dalam Surat Nomor
06.103/LAP/VII/2023 tertanggal 27 Juli 2023 dan Surat Nomor 06.102/LAP/VII/2023 tertanggal 27 Juli 2023. Kemudian, oleh Hakim Pengawas dikeluarkan Penetapan Hakim Pengawas dengan nomor: 52/PDT.SUS-PKPU/2023/ PN.NIAGA.SBY tanggal 31 Juli 2023.

Dalam penetapan itu dinyatakan, bahwa utang yang diajukan PT CESS yang diakui hakim pengawas sebesar Rp 61.873.186.556 dan PT CNEC Engineering Indonesia sebesar Rp 1.269.055.620,

Dalam penetapan nomor: 52/PDT.SUS-PKPU/2023/PN.NIAGA.SBY tanggal 31 Juli 2023 disebutkan, bahwa terhadap kreditor atas nama PT. Cahaya Energi Sumeru
Sentosa, setelah Hakim Pengawas dan tim pengurus melakukan penelusuran dan
mempelajari dokumen-dokumen penagihan para kreditor, Hakim Pengawas
berpendapat terdapat sebagian tagihan-tagihan yang tidak memiliki dokumen pendukung sesuai dengan tagihan yang diajukan. Sehingga atas sebagian dari tagihan-tagihan tersebut untuk dapat dibantah dan tidak dapat ikut serta dalam pemungutan suara.

Tidak hanya itu, dalam kesimpulannya Johanes menyebutkan, jika pemohon PKPU juga menyetujui rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor atau termohon PKPU. Dan, perkara PKPU tersebut sudah
terdapat putusan pengesahan perdamaian (Homologasi) No:52/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Sby tanggal 7 Agustus 2023.

Dikatakan Johanes, PT CESS juga telah
mengirimkan rekening kepada termohon guna pembayaran pelaksanaan perdamaian yang telah disahkan (homologasi)
melalui surat nomor: 001/SPB/CESS-CFK/VIII/2023 perihal pemberitahuan rekening perusahaan PT CESS tanggal 15 Agustus 2023.

Bahkan, lanjut Johanes, di dalam amar Putusan Pengesahan Perdamaian (Homologasi) No:52/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Sby, secara tegas menyebutkan “Menghukum debitor/PT CFK (Dalam PKPUS) dan para kreditornya
untuk tunduk dan mematuhi serta melaksanakan isi perjanjian perdamaian tertanggal 1 Agustus 2023.” Hal itu sesuai dengan Pasal 286 UU K-PKPU, Pasal 1858 KUHPerdata dan prinsip hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur (Putusan Hakim harus dianggap benar).

Sehingga, pemohon PKPU dinilai tidak memiliki kapasitas hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan PKPU ulang, apalagi ini permohonan kali ketiga oleh PT CESS. Karena, pemohon PKPU merupakan kreditor yang sudah terikat pada Homologasi.

Hal yang sama juga dikatakan Ahli Kepailitan Prof Dr M Hadi Shubhan, SH MH CN dalam sidang sebelumnya. Disebutkan juga bahwa Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No: 109/KMA/SK/IV/2020 pada poin 5.2.4 huruf a halaman 50 telah mengatur secara tegas pertimbangan hukum menolak permohonan PKPU didasarkan pada pertimbangan yang salah satunya, yaitu pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) yang sah.

“Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, oleh karena pemohon PKPU tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan PKPU a quo, maka sudah sepatutnya permohonan PKPU a quo dinyatakan ditolak,” kata Johanes.

Dalam kesimpulan itu dinyatakan, bahwa sebenarnya pengajuan permohonan PKPU tersebut hanya bersifat pengulangan terhadap dalil keberatan yang pernah diajukan kepada Hakim Pengawas dalam PKPU sebelumnya. Sehingga, kata Johanes, seharusnya Majelis Hakim dalam perkara a quo nantinya juga membuat putusan yang sama, sebagaimana asas Similia Similibus. Yaitu, perkara yang sama harus menghasilkan putusan yang sama pula.

Begitu pula disampaikan saksi ahli dari pemohon, yakni Dr Hendri Jayadi Pandiangan SH MH. Ahli hukum ini menyebutkan, bahwa penetapan Hakim Pengawas itu mengakhiri sengketa.

Sementara, Ahli Prof Dr M Hadi Shubhan SH MH CN di persidangan sebelumnya menerangkan, terdapat konsensus yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI dalam bidang Hukum Kepailitan, yang kemudian dimuat dalam “Buku Tanya Jawab Penyelesaian Perkara Niaga (Hasil Diskusi Hakim Niaga Seluruh Indonesia) di Semarang”, pada angka 32 halaman 20, disebutkan jika terdapat perbedaan jumlah tagihan dalam proses PKPU, setelah diupayakan didamaikan dan tidak berhasil maka Hakim Pengawas mengeluarkan penetapan. Lantas, apakah Penetapan Hakim Pengawas tersebut dapat diajukan upaya hukum?

“Penetapan Hakim Pengawas terhadap penyelesaian perselisihan tagihan dalam PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum, sesuai Pasal 229 ayat (2) UU K-PKPU),” jelas ahli, yang disampaikan Johanes dalam kesimpulannya.

Selain itu, Prof Dr M Hadi Shubhan dalam sidang sebelumnya juga menjelaskan, PKPU merupakan instrumen hukum untuk melakukan restrukturisasi utang
secara menyeluruh terhadap semua kreditor (collective proceeding tools). Sehingga, implikasi yuridisnya adalah semua perikatan yang terjadi sebelum Homologasi digantikan normanya dengan isi putusan Homologasi. Dan, yang menjadi hak
kreditor adalah apa yang sudah termuat dalam isi putusan Homologasi, bukan pada perikatan awal.

“Berdasarkan segala hal yang telah terurai di dalam Kesimpulan ini, maka dengan ini termohon PKPU mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo kiranya menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut, menerima jawaban termohon PKPU untuk seluruhnya, menolak permohonan PKPU a quo untuk seluruhnya. Atau, apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya,” jelas Johanes dalam kesimpulan yang dibacakannya.

Sementara, usai sidang e court Johanes menyatakan, jika permohonan PKPU dengan dasar tagihan yang telah ditetapkan dibantah berdasarkan Hakim Pengawas sampai dikabulkan, apalagi sudah ada pedoman yang dikeluarkan oleh MA yang melarang permohonan PKPU ulang terhadap debitor yg sedang melaksanakan perjanjian perdamaian yang di homologasi, maka patut diduga ada keterlibatan mafia kepailitan.

“Saya berharap Majelis Hakim diberikan keteguhan hati agar dapat memutus perkara ini secara adil dan berdasarkan hukum,” pungkasnya. (Rud)