JATIMTERKINI.COM: Sidang mediasi atas sengketa tanah dan bangunan Jalan Majapahit 47A Sidoarjo, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, Selasa (20/8/2024). Namun, mediasi yang dipimpin oleh Hakim Irianto ini pun tetap tak menemui titik temu alias deadlock. Harapan puluhan ahli waris dari Tjan Hoet Mien dan Lie Kwie Tjing, yang menginginkan lahan yang disengketakan antar saudara itu dibagi rata, akhirnya kandas di tengah jalan.
Usai menggelar aksi damai dengan membagikan bendera merah putih dan snack di depan PN Sidoarjo, puluhan ahli waris keturunan dari Tjan Hoet Mien dan Lie Kwie Tjing memasuki Ruang Sidang Kartika, untuk mengikuti sidang lanjutan dengan agenda mediasi yang kedua. Namun, dalam sidang mediasi yang dihadiri para tergugat Mariana Candra dkk itu deadlock. Para tergugat menolak berdamai, dan tetap ngotot bahwa tanah dan bangunan yang disengketakan itu tetap menjadi miliknya.
Bahkan, Sulaini, salah seorang ahli waris sempat mencegat Mariana Candra dkk saat akan keluar dari ruang sidang. Sulaimi yang masih satu keluarga dengan Mariana Candra dkk itu meminta kesadaran dari para tergugat agar tanah dan bangunan peninggalan dari Tjan Hoet Mien dan Lie Kwie Tjing itu dibagi rata sesama ahli waris, tidak dikuasai sepihak oleh para tergugat. Pasalnya, bagaimana pun mereka tetap satu saudara.
Bahkan, dari gagalnya perdamaian itu akhirnya terungkap bahwa lahan yang disengketakan dan diduga dikuasai sepihak oleh Mariana Candra dkk ternyata tidak hanya satu obyek, melainkan terdapat dua obyek, yang masih satu kawasan. Hal itu dibenarkan kuasa hukum penggugat, Agung Silo Widodo Basuki SH MH.
“Memang hari ini sidang ada dua perkara. Yaitu, gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan nomor perkara 213 dengan obyek Jalan Majapahit 47A, dan gugatan nomor perkara 248 dengan obyek Jalan Majapahit 64 yang agendanya pemanggilan pihak tergugat. Jadi, dalam sengketa waris ini ada dua obyek yang lokasinya berhadapan,” ungkap Kandidat Doktor Ilmu Hukum ini kepada JatimTerkini.Com.
Setelah keluar dari ruang sidang pun, Sulaini kepada awak media kembali menegaskan, jika dirinya berharap kasus tersebut akan berakhir dengan perdamaian. Sebagai saudara tertua, Sulaimi menginginkan, keluarga kembali hidup rukun. Dan harta peninggalan dapat dibagi rata.
“Saya ingin semua keluarga, pihak penggugat dan tergugat itu rukun semua. Itu harta orangtua, bukan mereka yang cari, orangtua yang cari, kepingin semua dibagi rata. Itu tadi keponakan saya (tergugat), anaknya kakak saya, dahulu satu keluarga kumpul semua. Jadi sekali lagi saya berharap bisa dimediasi, rukun kembali, tidak bermusuhan,” jelas Sulaini.
Sementara, Agung Widodo memaparkan, jika mediasi dinyatakan oleh hakim mediator telah gagal. Namun, lanjut Agung, kliennya masih tetap membuka ruang untuk upaya perdamaian di kemudian hari.
“Mediasi kali ini dianggap gagal, karena apa? Tadi hakim mediator menanyakan kepada klien kami apakah bersedia berdamai? Klien kami serentak sepakat semua untuk berdamai. Kemudian, hakim menanyakan ke tergugat, mereka dengan tegas menyatakan tidak mau berdamai. Itulah yang menjadikan hakim mediator menganggap bahwa mediasi gagal. Tapi, kami berharap tetap ada perdamaian meskipun nanti sudah memasuki agenda persidangan,” tambah advokat senior Jawa Timur ini.
Sedangkan kuasa hukum tergugat, Boby menyatakan, bahwa pihaknya akan membuka peluang perdamaian meskipun nanti sudah memasuki agenda pokok perkara persidangan. “Kita tidak menutup kemungkinan bila nantinya ada perdamaian. Saya sebagai kuasa hukum, siapa yang tidak mau ada perdamaian sih,” tandas Boby.
Seperti diketahui, 24 orang penggugat yang merupakan ahli waris dari Tjan Hoet Mien dan Lie Kwi Tjing melakukan gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum) terhadap Jan Sioe Mei (Mariana Candra), Mariani, Siangfuk dan Maria. Keempat tergugat tersebut merupakan anak keturunan dari Tjan Hwan Hwa.
Sengketa itu berawal ketika Tjan Hoet Mien dan istrinya Lie Kwie Tjing datang ke Sidoarjo pada tahun 1951 untuk berdagang. Kemudian pada tahun 1955-1958 mereka menyewa rumah di Jalan Majapahit No.35-37 (Sekarang Jalan Majapahit No.47A).
Pasangan ini mempunyai keturunam 18 orang. Diantaranya, Njoek Lan/Tatik Sulandari, Tjan Hwan Hwa, Njoek Ing/Tjan Njoek Ing, Wan Liong/Harianto, Njoek Moy/Tsang Tjoek Moy, Wan Sioeng/Sugianto, Wan Djong/Djoko, Njoek Djun/Tjan Yuliana Chandra, Njoek Poen/Suliani dan Wan Yong/Chandra Wiyana.
Merasa hoki atas rumah itu, Tjan Hoet Mien dan Lie Kwie Tjing membeli rumah itu dari Jang Boen Poo, yang berwenang dari Firma Tjiap Hong TjanTjan pada tanggal 29 Desember 1959.
Namun, karena kedua pasangan ini tercatat sebagai warga Negara Asing (WNA), pembelian rumah dan tanah tersebut akhirnya diatasnamakan anak keduanya, yaitu Tjan Hwan Hwa, yang saat itu sudah tercatat sebagai WNI.
Ketentuan itu sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Bahkan, dalam kwitansi jual beli juga tertulis dan dibayar oleh Tjan Hoet Mien, yang berbunyi atas pembelian dua buah tanah Eigendom H. V. E Verf No/10791 dengan luas 268 M² dan R.V.E Verp. Nomor 14662 dengan luas 343 M².
Lahan tersebut kemudian dijadikan tempat usaha minuman lemon dengan merk Tjin Mie dan tempat usaha PT. L.O.T.
Namun, konflik keluarga ini muncul setelah Tjan Hoet Mien dan Lie Kwie Tjing meninggal dunia. Tanah dan bangunan yang sebelumnya hanya meminjam nama Tjan Hwan Hwa itu tiba-tiba beralih nama ke tergugat, yakni Mariana Chandra Dkk, yang merupakan anak keturunan dari Tjan Hwan Hwa. Bahkan, tanah dan bangunan yang sudah bersertifikat
HGB (Hak Guna Bangunan)
No.134 seluas 579 M2 diklaim sebagai milik mereka.
Namun, setelah gagal mediasi, kembali terungkap bahwa Mariana Candra dkk disebut-sebut juga menguasai tanah warisan yang berada di Jalan Majapahit 64, tepatnya persis di depan obyek Jalan Majapahit 47A. Hingga keluarga ahli waris melalui kuasa hukumnya Agung Silo Widodo SH MH kembali mengajukan gugatan dengan nomor perkara 248 di PN Sidoarjo. (Rud)