JatimTerkini.com
Headline JTHukrimJatimMalangTerkini

Aneh! Diduga tak ada unsur pidana, jaksa tuntut terdakwa BTPN Malang 2 tahun penjara

Kuasa hukum FM Valentina, Andry Ermawan SH dan Agus Budi Wahono SH saat mendengarkan tuntutan jaksa. Foto: ist

JATIMTERKINI.COM: JPU (Jaksa Penuntut Umum) dari Kejari (Kejaksaan Negeri Malang) Suud SH akhirnya menuntut terdakwa dugaan pemalsuan surat untuk pencairan deposito BTPN Malang, FM Valentina, dua tahun penjara. Tuntutan itu dibacakan di depan majelis hakim yang diketuai Brelly Yuniar Dien Wardi Haskori SH MH.

Dalam keterangannya, JPU menyebut bahwa Valentina menarik uang Rp 500 juta tanpa sepengetahuan atau seijin Hardi. “Dianggap terbukti secara sah melanggar pasal 263 KUHP serta merugikan pelapor,” jelas Suud. Sementara, Hardi pun tidak bisa dihadirkan lantaran sudah meninggal.

Selain itu, Suud mengatakan jika Valentina berbelit-belit dalam persidangan.

Sementara, Andry Ermawan SH, kuasa hukum Valentina menyatakan bahwa tuntutan tersebut sangat janggal. Dan pihaknya akan segera membuat pledoi (pembelaan) untuk sidang berikutnya.

Dikatakan Andry, bahwa tuntutan JPU tidak sesuai dengan fakta persidangan. “Boleh-boleh saja jaksa menuntut dua tahun. Itu hak dia. Tapi banyak fakta hukum yang sudah dibuka di persidangan sebelumnya, bahwa semua yang dilakukan klien kami sepengetahuan Hardi,” jelas Ketua DPC IKADIN Sidoarjo ini.

Andry menyebut, diantaranya penandatanganan form aplikasi pembukaan, hingga penutupan rekening rekening deposito Taseto BTPN. Itu semua juga sepengetahuan Hardi.

“Saksi Nurul yang saat itu menjadi staf BTPN Malang sudah menjelaskan ke hakim saat bersaksi di persidangan. Justru anak Hardi yaitu Hendri tidak tahu menahu tentang rekening ini,” kata Andry lagi.

Bahkan, lanjut Andry, bahwa Hardi yang menyerahkan KTP untuk pembukaan rekening deposito Taseto BTPN Malang.

“Dan sudah dipatahkan pula oleh ahli pidana bahwa tidak ada perbuatan tindak pidana dalam perkara ini. Artinya, klien kami harus bebas. Terkait kerugian Rp 500 juta sudah dijelaskan bahwa uang itu bersumber dari rekening klien kami,” papar Andry.

Sedangkan, ketika disinggung soal Labfor (Laboratorium Forensik) Cabang Surabaya terkait tanda tangan Hardi dengan satu bendel form pembukaan hingga penutupan rekening, Andry membenarkan bahwa itu tidak identik. “Kalau tidak identik berarti rekening itu bukan rekening Hardi. Ingat, klien kami hanya menuliskan nama Hardi, bukan menirukan tanda tangan Hardi,” pungkasnya.

Seperti diketahui, dalam sidang sidang sebelumnya, saksi ahli pidana dari UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, yakni Dr M Arif Setiawan SH MH di depan majelis hakim yang dipimpin Brelly Yuniar Dien Wardi Haskori SH MH, mengatakan bahwa terdakwa dapat dijerat pasal 263 KUHP jika terdapat unsur kerugian.

“Ketika surat palsu yang digunakan bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam perkara ini, kalau memang ada persetujuan dari suami, tidak bisa dikatakan sebagai perbuatanmelawan hukum,” tegas Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta ini.

Dalam perkara BTPN Malang, kata saksi ahli yang kerap dipakai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ini, tidak ada niat jahat dari terdakwa. Dan tidak menyebabkan kerugian terhadap suaminya. Sehingga, tidak ada unsur perbuatan melawan hukum oleh terdakwa.

“Tidak ada niat jahat atau suami yang dirugikan. Apalagi, tandatangan semua form aplikasi dilakukan di depan pejabat bank. Sudah jelas tidak ada perbuatan melawan hukum. Kalau ada tandatangan yang tidak sama, harusnya bank menolak. Pelanggarannya ada di bank kalau ada sesuatu yang tidak benar,” tegas Arif.

Selain itu, lanjut Arif, jika tidak ada kesalahan dalam proses pembukaan rekening dan penutupannya, dan Valentina tidak bisa dipidana. “Yang melawan SOP bank adalah pihak bank sendiri. Bukan nasabah. Jadi, dalam hal ini, bila semua unsur dalam Pasal 263 KUHP tidak terpenuhi, dakwaannya ya harus bebas,” tandas Arif.

Pakar hukum pidana UII Yogyakarta ini juga sependapat dengan Dr Prija Djatmika SH
MSi, dosen Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya (UB). Yaitu, masalah kerugian yang ditimbulkan dalam Pasal 263 KUHP adalah unsur subyektifnya bila dilakukan secara sengaja.

“Menimbulkan kerugian itu mutlak harus ada dalam pasal ini. Dan kerugian materiil atau moril itu harus dapat dibuktikan. Dalam kasus ini, pemalsuan formil memang terpenuhi. Pemalsuan surat memang ada, tapi bukan tindak pidana. Apalagi, tandatangan semua form deposito ini atas sepengetahuan pelapor (Hardi),” tambah Prija Djatmika.

“Kalau hakim mempertimbangkan fakta hukum di persidangan, klien kami harusnya bebas,” tegas Andry.

“Semua saksi ahli menerangkan Pasal
263 KUHP, jika tidak terdapat mensrea atau niat dari klien kami untuk merugikan pelapor. Apalagi, saat peristiwa itu terjadi, keduanya masih terikat pernikahan yang sah. Kami juga lampirkan bukti pendukung lain, seperti surat pernyataan dari
pegawai bank dan surat lain,” urai Andry.

Diketahui, bos PT Hardlent Medika Husada (HMH), FM Valentina, didakwa dengan Pasal 266 ayat 2 KUHP jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP, atau dakwaan kedua, Pasal 263 KUHP ayat 2 Juncto Pasal 64 ayat 1 tentang dugaan menggunakan akta atau surat keterangan palsu hingga dituding menimbulkan kerugian terhadap dr Hardi Soetanto, mantan suaminya, sebesar Rp 500 juta.

Padahal, uang Rp 500 juta itu ditarik dari rekening Valentina, untuk membuka rekening baru Taseto Bank BTPN Malang atas nama Hardi. Namun, hal itu kembali dipersoalkan oleh anak Hardi, yakni Hendri Irawan disaat Hardi sudah meninggal.

Di hadapan majelis hakim yang dipimpin Brelly Yuniar Dien Wardi Haskori SH MH, Dr Prija Djatmika mengatakan, bahwa tindak pidana Pasal 263 KUHP yang didakwaan kepada Valentina harus menimbulkan kerugian. “Unsur subyektifnya bila dilakukan secara sengaja,” kata dia.

Bahkan, lanjut Dr Prija, kerugian tersebut juga harus dibuktikan. “Menimbulkan kerugian itu mutlak harus ada dalam pasal ini. Dan kerugian materiil atau moril itu harus dapat dibuktikan. Dalam kasus ini, pemalsuan formil memang terpenuhi. Pemalsuan surat memang ada, tapi bukan tindak pidana. Apalagi tandatangan semua form deposito ini atas sepengetahuan pelapor,” jelas dia.

Mantan wartawan Jawa Pos ini mengungkapkan, jika uang yang digunakan untuk membuka rekening deposito Taseto Bank BTPN Malang ini, kembali ke pemiliknya, bukan ke pelapor. “Lalu dimana kerugiannya? Menurut saya, tidak ada kerugian yang dialami pelapor. Kalau sudah begitu, unsur Pasal 263 KUHP juga tidak memenuhi. Artinya, keputusan hakim nanti bisa bebas, minimal onslag,” papar saksi ahli yang kerap dipakai Polri ini.

Kata Dr Prija, Valentina tidak bisa dituntut pidana dalam kasus tersebut. Pasalnya, tidak ada kepentingan yang merugikan Hardi semasa masih menjadi suami. “Kalau korban lapor karena merasa uangnya hilang, harus ada alas haknya. Misal sumber uang ini adalah dari pelapor atau korban, bisa disebut penggelapan,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, jelas Dr Prija, secara formil jika kasus tersebut cacat hukum. “Dalam pembuatan rekening depositonya saja sudah cacat. Depositonya palsu. Ranahnya bukan pidana lagi. Harusnya keputusan hakim nanti adalah onslag. Korban tidak rugi apapun. Rugi darimana kalau uang yang digunakan untuk membuka rekening adalah milik istrinya sendiri,” kata Dr Prija lagi.

Sementara, Andry Ermawan SH dan Agus Budi Wahono SH, penasihat hukum Valentina mengakui, jika ahli yang dihadirkan menyampaikan hal yang sangat bagus dalam memberikan paparan hukum. Diantaranya, menguraikan tentang Pasal 263 KUHP dan Pasal 266 KUHP. “Materiil dan formil harus selesai. Jika unsur tidak terpenuhi dalam arti Voltooid, maka sah-sah saja ahli menyatakan klien kami bebas dari segala tuntutan,” tambah Andry Ermawan, yang juga Wakil Ketua Peradi Sidoarjo ini.

Nurul Fauziah SE, marketing Bank BTPN Malang, yang merupakan saksi kunci atas kasus ini mengaku kepada majelis hakim bahwa dia mengetahui persis kasus tersebut. Mulai dari pembukaan rekening Taseto, pemindah bukuan, penutupan hingga penarikan uang itu oleh Valent. Termasuk pengisian form aplikasi hingga contoh tandatangan dan penutupan dilakukan dan disetujui oleh pelapor, yakni almarhum dr Hardi Soetanto. Ketika itu, dr Hardi masih menjadi suami Valentina.

“Memang saya menjelaskan, untuk membuka rekening Taseto itu, harus pakai nama lain karena bu Valent sudah memiliki rekening Taseto. Yang belum adalah dr Hardi,” tandas Nurul.

Dikatakan Nurul, bahwa Hardi menyetujui pembukaan rekening dengan menggunakan namanya tersebut. Apalagi, uang Rp 500 juta yang dipakai untuk membuka rekening itu adalah milik Valentina. “Saya sebagai marketing Bank BTPN Malang membantu mengisikan form dokumen aplikasi di hadapan bu Valent dan dr Hardi di rumahnya,” tegas Nurul.

“Termasuk saat bu Valentina tandatangan semua form atas nama suaminya, diketahui oleh dr Hardi. Tidak ada masalah. Setelah semua selesai, saya yang membawanya form itu ke customer service BTPN untuk proses pembukaan rekening. Uang untuk membuka rekening itu, didebet dari rekening bu Valentina ke rekening baru Taseto atas nama dr Hardi,” tambah dia lagi.

Tidak hanya itu, di hadapan majelis hakim, Nurul juga menunjukan surat pernyataan yang dia buat terkait proses pengajuan dan penarikan hingga penutupan rekening deposito yang kini dipersoalkan oleh Hendri Irawan, anak dari dr Hardi tersebut.

Menurut Nurul, setelah semua proses dilakukan dan mengetahui dr Hardi, kemudian terbit buku tabungan Taseto baru atas nama dr Hardi. “Uang itu baru kembali lagi ke rekening bu Valentina, setelah jatuh tempo enam bulan kemudian. Selain dapat LCD TV, bu Valentina dan dr Hardi menerima bunga yang totalnya sekitar Rp 14 juta,” ungkap Nurul.

Empat saksi lain dalam sidang sebelumnya, yakni Setyaningrum, Listyawati, Lisa hingga Dito lebih menjelaskan soal proses SOP yang
harus dijalankan saat pembukaan
hingga penutupan rekening baru. “dr
Hardi malah komplain tidak pernah merasa membuka rekening tersebut,” jelas Listyawati, mantan Funding Branch Manager Bank BTPN Malang.

Hendri Irawan, anak almarhum dr Hardi, yang mengajukan pra peradilan hingga kasus yang sudah 12 tahun dibuka kembali mengaku, jika dirinya mengetahui ayahnya punya rekening Taseto di Bank BTPN Malang berdasarkan keterangan ayahnya saja. Dia tidak mengetahui fakta yang sebenarnya. “Papa saya hanya cerita punya rekening itu,” kata dia.

Hendri juga tidak pernah tahu bentuk fisik seperti buku tabungan yang bertuliskan uang rekening Rp 500 juta. Termasuk, proses pembukaan hingga penutupan rekening. (rudi)