
Surabaya-JATIMTERKINI.COM: Nenek Soeskah Eny Marwati alias Fransiska Eny Marwati blak-blakan mengungkap bahwa kasus yang menjerat dirinya menjadi tersangka pernah dilaporkan Linggo Hadiprayitno pada 2009 di Polda Jatim dan tak terbukti. Hal itu disampaikan Nenek Soeskah dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Rabu (10/9/2025), di Ruang Sari 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Di depan Ketua Majelis Hakim Purnomo Hadiyarto, Nenek Soeskah menyatakan bahwa rumahnya di Jalan Kendalsari Selatan II itu awalnya mau dibeli oleh Linggo Hadiprayitno. Namun saat itu Linggo minta agar dia diperbolehkan menempati rumah tersebut terlebih dahulu, dengan alasan kontrakan rumahnya sudah habis.
Karena merasa kasihan, Nenek Soeskah bersama suaminya bernama Samsi akhirnya menyetujui rumah tersebut ditempati oleh Linggo.
Namun, setelah rumah itu di tempati oleh Linggo bersama istrinya Lisa Rahmat, yang tak lain mantan Pengacara Ronald Tannur, jual beli rumah itu tak pernah terwujud. “Tiga puluh lima tahun saya tidak pernah menerima uang sama sekali (dari Linggo). Yang saya dapat penderitaan, malah saya dimasukan Lapas Porong,” ujar Nenek Soeskah seraya meneteskan air mata.
Bahkan, Nenek Soeskah sempat digugat secara Perdata oleh Linggo ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, namun gugatan tersebut ditolak oleh majelis hakim.
Lantaran ditolak, Linggo kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya hingga kasus tersebut dimenangkan oleh Linggo.
Merasa didholimi, Nenek Soeskah mengaku, melalui pengacaranya Sudiman Sidabuke mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dan MA-pun memenangkan dirinya, sebagai pemilik rumah secara sah sesuai sertifikat SHM (Sertifikat Hak Milik).
Upaya Linggo yang diduga kuat untuk tetap menguasai rumah tersebut tidak berhenti disitu. Ia pun mengajukan PK (Peninjauan Kembali). Tetapi PK tersebut akhirnya ditolak oleh MA.
Sayangnya dalam gugatan tersebut tidak bisa dilakukan eksekusi, Nenek Soeskah kemudian menggugat Linggo secara Perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Gugatan itu pun dimenangkan oleh dirinya hingga ke tingkat PK. Namun disaat akan dilakukan eksekusi, Nenek Soeskah dilaporkan oleh Linggo ke Polda Jatim pada 2017 dengan tuduhan menggunakan surat keterangan palsu dari Kelurahan Ngagel Rejo saat mengajukan kasasi Ke MA. Hingga kemudian Nenek Soeskah dijerat sebagai tersangka.
Padahal kasus dugaan menggunakan surat palsu dari Keluarahan Ngagel Rejo itu pernah dilaporkan Linggo pada 2009 lalu. “Pada 2009 pernah dilaporkan oleh Linggo ke Polda. Tapi itu tidak terbukti, karena Pak Lurah Ngagel Rejo mengakui bahwa surat keterangan itu memang dari dirinya. Saat itu pertemuan dilakukan bersama Kompol Nunuk dan ada pengacara saya Pak Sidabuke. Karena tidak terbukti akhirnya masalah itu selesai,” jelas Nenek Soeskah di depan persidangan.
Hal itu juga dibenarkan Kuasa Hukum Nenek Soeskah, Aris Eko Prasetyo SH., MH. Menurutnya, tuduhan atas dugaan menggunakan surat palsu, sesuai Pasal 263 KUHP seharusnya sudah daluwarsa, karena sudah melebihi 12 tahun. Aris menilai, Linggo sudah mengetahui Surat Keterangan Kelurahan Ngagel Rejo yang dituduhkan palsu itu sejak 2009 lalu. Itu terbukti dengan adanya Laporan Polisi nomor: LP/251/V/2009/Biro Ops Polda Jatim. Dan laporan itu tidak berlanjut karena tidak terbukti.

Anehnya, ketika Nenek Soeskah mengajukan eksekusi atas rumahnya, ia kembali dilaporkan Linggo ke Polda dengan nomor laporan: LPB/47/I/2017/UM/JATIM. Hingga menjadikan Nenek Soeskah di penjara.
“Sebagaimana yang kita dengar tadi di persidangan, intinya yang pertama menjadi poin adalah pelapor ini sudah mengetahui ini sejak tahun 2009 alias sejak laporan yang pertama. Jadi kalau di dakwaan dibilang baru mengetahui tahun 2017 sejak laporan kedua, adalah tidak benar. Nah ini sudah 2025 baru dilakukan penuntutan,” terang Aris pada awak media usai sidang.
Aris menambahkan memang dalam kasus ini terdapat dua laporan polisi yang berbeda, satu pada tahun 2009 dan satu lagi pada tahun 2017 yakni surat laporan polisi tahun 2009 nomor LP/251/V/2009/Biro Ops Polda Jatim dan laporan polisi tahun 2017 nomor LPB/47/I/2017/UM/JATIM.
Menurut Aris, kedua laporan ini memiliki kesamaan, di mana pelapornya adalah Linggo Hadiprayitno dan terlapornya adalah Soeskah Eny Marwati. Pasal yang dilaporkan dan objek yang diduga palsu (surat dengan nomor 181) juga sama persis di kedua laporan tersebut. Pihaknya memiliki bukti-bukti yang telah diserahkan, termasuk bukti-bukti dari laporan pidana sebelumnya.

Ia menduga laporan dugaan surat palsu itu dilakukan Linggo untuk ‘mengganjal’ perkara agar tidak dilakukan eksekusi. “Dugaan klien kami mau eksekusi rumah tapi kemudian dilaporkan agar tidak jadi eksekusi,” tegas Aris.
Aris juga menjelaskan bahwa kliennya sama sekali tidak mengetahui adanya laporan polisi tahun 2017. Karena saat itu kliennya sudah pindah rumah.
“Ada surat keterangan lurah setempat. Surat keterangan dari lurah menyatakan bahwa Ibu Soeskah belum menerima relaas karena telah pindah sejak tahun 1996 ke Manyar. Keterangan ini dianggap sesuai fakta, dan lurah bahkan menyatakan bahwa surat tersebut adalah produknya sendiri pada laporan tahun 2009. Artinya klien kami sudah tidak tinggal di Ngagel. Karena rumah di situ sudah dijual. Namun pernyataan ini tidak dimasukkan dalam BAP tahun 2017. Jadi, apanya yang dipalsukan,” urai Aris.
​Sementara Nenek Soeskah menambahkan, bahwa dirinya merasa dikriminalisasi atas kasus ini. “Sekali lagi saya 35 tahun tidak pernah dapat uang sama sekali. Yang saya dapat malah penderitaan. Saya dimasukkan ke Lapas Porong. Saya merasa dikriminalisasi,” pungkas Nenek Soeskah. (rud)