JatimTerkini.com
Headline JTHukrimSurabayaTerkini

Ronald Tannur Bebas, Pakar Hukum Pidana Ubaya Minta Kasasi Jaksa Fokus Validitas Bukti dan Perlunya Lembaga Eksaminasi

Dekan Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) Dr Hwian Christianto SH MH. Foto: ist

JATIMTERKINI.COM: Molornya pengajuan kasasi oleh kejaksaan atas putusan bebas Gregorius Ronald Tannur lantaran belum diterimanya salinan putusan dari Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dinilai sangat wajar. Hal itu dikatakan Pakar Hukum Pidana Ubaya (Universitas Surabaya) Dr Hwian Christianto SH MH.

Menurut Hwian, untuk membuat memori kasasi syaratnya memang harus sesuai dengan dokumen hukum, yaitu salinan putusan pengadilan tingkat pertama. Sehingga salinan putusan tersebut sangat dibutuhkan. Apalagi saat ini kejaksaan dituntut berkerja ekstra keras untuk membuktikan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh Ronald Tannur.

Dekan Fakultas Hukum Ubaya ini mengatakan, bahwa yang harus dilakukan kejaksaan saat ini adalah memperkuat alat bukti. Validitas alat bukti sangat diperlukan, untuk membuktikan adanya peristiwa pidana hingga meninggalnya seseorang.

“Sebenarnya hakim pidana itu bersifat pasif. Untuk memutus perkara cukup dengan dua alat bukti dan keyakinan hakim. Nah, disini tugas JPU (Jaksa Penuntut Umum). Kalau melihat perkara ini, alat bukti sudah ada tapi hakim tidak yakin. Ini yang harus dilakukan pendalaman dalam kasasi nanti. Jadi, JPU harus fokus terhadap validitas alat bukti,” ujar Hwian kepada JatimTerkini.Com, Kamis (1/8/2024) malam.

Dalam kasus tersebut, kata Hwian, seharusnya terdakwa bisa dijerat dengan pasal 354 KUHP. Yakni, barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dapat diancam melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun. Jika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, maka dapat diancam pidana penjara paling lama 10 tahun.

“Dakwaan Jaksa hendaknya lebih fokus pada bukti tindakan yang mengarah pada penghilangan nyawa. Perihal bukti CCTV sebenarnya terkait dengan kekuatan alat bukti. Jaksa perlu menunjukkan validitas bukti dan keterkaitan dengan fakta hukum,” jelas Hwian.

Selain itu, secara Hukum Acara Pidana, Hwian menilai, seharusnya penanganan kasus tersebut lebih mengedepankan keberpihakan terhadap perempuan sebagai korban. Sehingga, dalam susunan majelis hakim pun harus ada hakim perempuan yang dapat mewakili.

“Komposisi hakim ini juga harus dicermati. Karena berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, apalagi sampai meninggal. Paling tidak hakimnya harus ada perempuannya, misalkan satu atau dua hakim perempuan. Dengan begitu hak-hak perempuan sebagai korban terwakili,” papar Hwian.

Tidak hanya itu, lanjut Hwian, untuk memenuhi rasa keadilan juga diperlukan lembaga eksaminasi yang netral. Meskipun lembaga eksaminasi tidak akan mengubah putusan hakim, namun majelis hakim yang salah dalam memutus perkara ini dapat dikenakan sanksi.

“Perlu ada lembaga eksaminasi putusan yang melibatkan pihak netral, diantaranya dari Akademisi. Sehingga kualitas putusan semakin baik dan terjaga,” tambahnya.

Diketahui, majelis hakim PN Surabaya menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur, terdakwa kasus dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang.

Menurut hakim, kematian Dini Sera Afriyanti disebabkan oleh penyakit lain akibat meminum minuman beralkohol, bukan karena luka dalam atas dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh Ronald Tannur.

Perkara nomor: 454/Pid.B/2024/PN Sby dengan klasifikasi kejahatan terhadap nyawa ini diadili oleh Ketua Majelis Hakim Erintuah Damanik dengan hakim anggota Mangapul dan Heru Hanindyo. Putusan dibacakan pada Rabu (24/7/2024) dalam persidangan yang terbuka untuk umum. (Rud)