JatimTerkini.com
JatimPemiluPilkadaPolitikSurabaya

Paslon Untuk Pilkada Jatim dan Surabaya, Diprediksi Hanya Sebatas Wayang. Praktisi Politik Nilai Hanya Dagelan Politik, Pakai Metode Bumbung Kosong Saja

ilustrasi

SURABAYA – Perhelatan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang rencananya digelar pada 27 November 2024 mendatang terkesan pelaksanaan Pilkadanya sudah selesai. Betapa tidak, sampai saat ini tidak ada greget muncul siapa pasangan calon yang akan menjadi lawan petahana baik di Jatim maupun petahana Surabaya.

“Hanya sebatas kasak kusuk paslon si A dari parpol B mengusung D dan seterusnya tapi realita politiknya belum mendaftar di KPU. Kan ini sudah masuk tahapan penyelenggaraan baik paslon independen sampai paslon yang diusung parpol, hingga penetapan Pasangan Calon Selasa, 22 September 2024 – Sabtu, 22 September 2024,” ulas Joko Pujianto atau yang biasa disapa Yoyok, Aktifis Pergerakan dan praktisi politik, Minggu (19/5/2024).

Menurut Yoyok, pasangan petahana Jatim Khofifah – Emil serta pasangan petahana Surabaya Eri –Armuji hanya sebuah dagelan politik, pasalnya sampai saat ini belum ada tanda-tanda satupun lawan yang muncul dalam kontestasi Pilkada 2024.

“Yang muncul kan hanya sebatas wacana publik, otak atik orang-orang saja atau ilmu gatuk. Iki digatukno iki, iko digatukno iki (hanya dipasang-pasangkan atau dicocok-cocokan menurut pribadi) padahal para petahana saat ini tak ada yang berani muncul melawan menandingi Khofifah-Emil dan Eri-Armuji,” ulas Yoyok.

Artinya sambung Yoyok, Pilkada 2024 ini sudah selesai, nantinya para petahana ini yang masih melanjutkan kepemimpinan Jawa Timur dan Surabaya hingga 2029. Adapun paslon yang sudah berani mendaftarkan dalam penilaian Yoyok hanya sebatas wayang yang sengaja ditandingkan.

“Khofifah-Emil dan Eri-Armuji lawan bumbung kosong, gak ono sing wani (tidak ada yang berani), mereka petahana ini satu paket wes ta gak ono sing wani ngelawan. Paslon iku Cuma golek wayang lawan tanding (pasangan itu Cuma hanya nyari sebagai wayang untuk ditandingkan) iki pilkada dagelan,” celetuk kritisnya.

Jika memang demikian, Yoyok mengusulkan, agar Pilkada tetap demokratis salah satunya dengan metode bumbung kosong, seperti yang terjadi dalam pemilihan kepala desa jika hanya ada satu calon saja.

“Kan satu paslon pun harus diperhatikan hak konstitusionalnya dalam pilkada. Dan lebih demokratis mekanismenya menggunakan sistem Pilkades dengan sistem Bumbung Kosong,” imbuhnya.

“Hanya saja risikonya, apabila masyarakat di daerah tersebut banyak yang memilih Bumbung Kosong ketimbang pasangan calon yang diusung parpol, maka kalau tidak salah, Kementerian Dalam Negeri akan menunjuk Pelaksana Tugas Kepala Daerah untuk ditempatkan di daerah tersebut,” pungkas Yoyok.