JatimTerkini.com
Headline JTJatimSurabayaTerkini

Meski ditentang HIPERHU, Pemkot Surabaya tetap paksa mengusaha hiburan tandatangani surat pernyataan

Kepala Satpol PP Surabaya, M Fikser. Foto: detik

JATIMTERKINI.COM: Meski sempat ditentang oleh HIPERHU (Himpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan Umum), Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tetap memaksa tempat Rekreasi Hiburan Umum (RHU) untuk menandatangani surat pernyataan.

Permintaan tandatangan dalam surat pernyataan itu hukumnya wajib. Dan, dikemas dalam operasi rutin setiap hari, termasuk operasi dua kali sepekan oleh Satpol PP.

Dalam keterangannya, Kepala Satpol PP Kota Surabaya, M Fikser mengatakan, operasi RHU di Surabaya terbagi menjadi dua. Pertama, operasi yang digelar dua kali dalam sepekan. Operasi ini menyasar tempat-tempat hiburan malam besar yang buka hingga dini hari.

“Kemudian yang kedua, operasi yang digelar setiap hari mulai pukul 10.00-21.00 WIB. Operasi ini menyasar RHU-RHU yang buka mulai siang sampai malam, seperti panti pijat, spa, dan karaoke,” jelas M Fikser, dinukil dari laman Pemkot Surabaya.

Bahkan, operasi tersebut Satpol PP tidak berjalan sendiri. Melainkan, gabungan dengan dinas lain, di antaranya, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP), Dinas Kesehatan, Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan, Dinas Pariwisata, serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP).

Sedangkan, untuk operasi skala besar yang digelar dua kali sepekan, Pemkot juga melibatkan instansi lain. Diantaranya, Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK) Surabaya dan Polrestabes Surabaya.

“Kami tidak mengganggu investasi, roda perekonomian. Tapi kami menjaga keseimbangan,” kata Fikser.

Dikatakan Fikser, setiap tempat hiburan malam di Surabaya wajib menandatangani surat pernyataan yang berisi empat poin. Yakni, bersedia tidak menerima tamu di bawah umur, tidak boleh ada praktik prostitusi, tidak digunakan sebagai tempat peredaran narkoba dan tidak mempekerjakan anak di bawah umur.

“Pernyataan itu ditandatangani dan diketahui manajemen. Kalau sudah ada pernyataan, maka jika di dalamnya (RHU) terjadi pelanggaran kita akan tutup, mereka akan menerima,” papar Fikser.

Jika ditemukan RHU yang melanggar ketentuan, kata Fikser lagi, maka dinas terkait akan memberikan surat bantuan penertiban (Bantib) ke Satpol PP. Dan, dari dasar surat Bantib itu Satpol PP melakukan persetujuan dan menindak tegas.

“Misal kalau dia (RHU) ditemukan tidak punya IMB (Izin Mendirikan Bangunan), maka dinas terkait memberikan Bantib ke Satpol PP. Jadi penandatanganan itu dasarnya Bantib ke Satpol PP, kemudian kami segel,” tegas dia.

Menurut Fikser, operasi hiburan malam ini dilakukan tidak hanya secara acak. Pasalnya, operasi juga berdasarkan pengaduan dari masyarakat. “Jadi kita mengoperasikan tempat itu (hiburan malam) karena juga ada pengaduan dari warga. Pada dasarnya apa, laporan melalui aplikasi WargaKu, itu yang kami datangi,” tandasnya.

Untuk itu, Fikser kembali mengimbau kepada seluruh pengelola RHU di Surabaya untuk mematuhi ketentuan yang berlaku. Apabila ditemukan pelanggaran, maka petugas Satpol PP akan menindak tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku.

“Saat ini belum ada RHU yang izinnya sampai dicabut. Tapi ada peluang satu RHU kami segel karena ada perizinannya yang belum lengkap. Makanya kami minta Bantib, sehingga dari kami bisa melakukan penyegelan,” tambahnya.

Sementara sebelumnya, Ketua HIPERHU (Himpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan Umum) Dr George Handiwiyanto SH MH menyatakan menolak kebijakan Walikota Surabaya Eri Cahyadi, yang memaksa pengusaha RHU untuk menandatangani surat pernyataan, yang salah isinya terkait pengunjung anak dibawah umur.

Menurut George, RHU yang ada di Surabaya, selama ini sudah memberlakukan aturan yang sangat ketat terhadap para pengunjung. Termasuk, pengunjung yang masih di bawah umur.

Diantaranya, RHU sudah memasang pemberitahuan di setiap pintu masuk, yang bertuliskan pengunjung harus berusia 21+ (21 tahun atau lebih). “Artinya, pengunjung di bawa umur 21 tahun tidak boleh masuk. Dan itu sudah kami lakukan sejak lama,” tegas George.

Namun demikian, kata George, tidak menutup kemungkinan RHU kerapkali kecolongan. Salah satunya, adanya pengunjung dibawah umur tapi dengan postur tubuh yang cukup besar. Sehingga, keamanan RHU pun menjadi terkecoh. “Jadi itu mungkin itu bisa saja terjadi, karena pengunjung bertubuh besar tapi ternyata masih dibawah umur. Kita tidak mungkin meminta KTP, kecuali pengunjung itu terlihat masih kecil, baru kita minta KTP. Jadi, kalau kecolongan itu bukan salah kita,” tandasnya.

Untuk itu, praktisi hukum yang juga sebagai Dewan Penasehat DPC PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) Kota Surabaya ini menolak dengan tegas jika Walikota Surabaya Eri Cahyadi akan memberlakukan surat pernyataan di setiap tempat RHU. Menurut George, saat ini yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya adalah menegakan hukum secara benar. Yakni, menjalankan Perda (Peraturan Daerah) yang sudah ada, termasuk melakukan pengawasan terhadap jalannya Perda tersebut.

“Dengan tegas kami menolak (surat pernyataan). Kalau surat pernyataan itu diberlakukan, maka apabila kita kecolongan nanti yang disalahkan para pengusaha,” papar dia.

Hingga saat ini, lanjut George, HIPERHU tetap konsisten dan mendukung penegakan hukum. “Cukup diberlakukan Perda saja, tidak harus tiap tempat hiburan umum diminta buat surat pernyataan,” kata George lagi.

Bahkan, kata George, jika Perda soal RHU betul-betul dijalankan dengan benar, tentunya semua akan bagus dan tertata. Artinya, tidak ‘tebang pilih’ dalam pelaksanaan Perda tersebut.

Dia juga mencontohkan, bahwa ada regulasi yang menyebut bahwa RHU harus berjarak minimal 100 meter dari tempat ibadah. “Lantas bagaimana tempat hiburan yang ada di mall-mall. Di dalam mall pasti ada tempat ibadahnya, dan jaraknya bisa dilihat sendiri, lalu kenapa tidak ditindak?” tanya George.

George berharap, penegakan hukum harus dijalankan dengan benar dan tidak ‘tebang pilih’. Mengingat, RHU juga memberikan kontribusi yang cukup besar ke Pemerintah Kota.

Selain itu, tambah George, birokrasi saat ini seharusnya bisa memahami bagaimana pengusaha hiburan umum. “Sebenarnya pengusaha hiburan ini patuh semua. Jangan semua yang disalahkan pengusaha,” jelas dia.

Untuk itu, George berharap, agar Pemerintah Kota tidak sembarangan mengambil kebijakan. “Makanya, seharusnya birokrat (pejabat) itu jadi pengusaha dulu, baru kemudian jadi pejabat. Biar tahu bagaimana mengelola tempat usaha. Kita ini taat aturan, juga taat pajak. Dan, Surabaya kalau tidak ada tempat hiburan malam ya tidak bisa menjadi Kota Metropolitan,” pungkasnya. (Rudi)