
Surabaya-JATIMTERKINI.COM: Ketua Majelis Hakim Kolonel Laut (H) Amriandie, akhirnya menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa Letnan Satu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra, dengan dalih tidak cukup alat bukti, Rabu (12/11/2025) di Pengadilan Militer III-12 Surabaya. Putusan ini mengingatkan publik pada langkah hakim ini yang sebelumnya menjatuhkan vonis pemecatan Pratu RA, terdakwa dugaan perzinahan, meski diduga tak dikuatkan alat bukti.
“Menimbang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, maka majelis memutuskan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan,” ujar Amriandie ketika membacakan amar putusan untuk terdakwa dugaan pelecehan seksual terhadap anak tirinya, yaitu Letnan Satu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Amriandie menyebutkan bahwa bukti yang diajukan Oditur Militer tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Atas putusan hakim tersebut keluarga korban mengaku kecewa. Kuasa hukum korban, Mochammad Irfan Syaifuddin SH., menyatakan sejumlah bukti dan kesaksian yang diajukan selama persidangan tidak diperhitungkan oleh majelis hakim.
“Kami kecewa karena bukti dan saksi yang kami hadirkan dinilai tidak memenuhi unsur. Putusan ini jelas menguntungkan terdakwa,” tegas Irfan pada awak media usai persidangan.
Kekecewaan itu juga disampaikan ibu korban, dr. Medy, yang juga istri terdakwa. Ia mengaku sedih dan tidak puas atas putusan tersebut. Menurutnya, majelis hakim tidak mempertimbangkan keseluruhan aspek perkara, termasuk kondisi psikologis anak dan dampak keluarga.
“Saya sudah jelaskan sejak awal bahwa pengakuan anak saya spontan dan tulus, bukan dibuat-buat. Namun hal itu rasanya kurang mendapat perhatian dalam persidangan,” terang Medy, dengan suara bergetar.
Padahal, lanjut Medy, terdakwa sempat terlibat perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang berujung hukuman percobaan. Untuk itu, ia berharap ada evaluasi terhadap institusi militer agar penanganan kasus serupa ke depan lebih sensitif terhadap korban dan mempertimbangkan keterangan ahli serta aspek psikologis korban dalam proses peradilan.
Putusan Ketua Majelis Hakim Amriandie ini diduga cukup kontroversi. Pasalnya, dalam sidang sebelumnya di kasus dugaan perzinahan dengan terdakwa Pratu RA, Hakim Amriandie menjatuhkan vonis 8 bulan penjara dan sanksi pemecatan dari TNI AD. Vonis itu dijatuhkan di hari yang sama, yang seharusnya dengan agenda pembacaan Duplik, pada Selasa (17/9/2025) lalu.
Padahal saat itu, menurut kuasa hukum terdakwa, Letda Cukup Fery Junaidi Wijaya SH., MH., di dalam persidangan terungkap bahwa tidak ada alat bukti yang menguatkan adanya peristiwa perzinahan tersebut, seperti yang dituduhkan pada Pratu RA. Terlebih lagi, terdakwa Pratu RA juga mencabut keterangan BAP di persidangan. Begitu juga adanya keterangan dari Ahli Hukum Pidana Universitas Bhayangkara, Dr. Sholehuddin SH., MH., dan keterangan dari Ahli Grafonomi yang menyebutkan, bahwa tulisan dalam kertas yang dijadikan alat bukti tidak identik dengan tulisan Dewi Wulandari. Namun, semua bukti-bukti yang meringankan dan membantah adanya peristiwa perzinahan ternyata tak pernah digubris oleh majelis hakim.
Padahal, yang menjadi korban atas putusan di kasus tuduhan perzinahan yang menyeret Pratu RA, yang tanpa dikuatkan alat bukti tersebut ialah Dewi Wulandari. Karena, dengan adanya putusan itu, seolah-olah membenarkan adanya peristiwa perzinahan antara Dewi Wulandari dengan Pratu RA.
Beberapa pekan lalu, Yasin Nur Alamsyah SH., MH., kuasa hukum Dewi Wulandari menyatakan, bahwa kliennya shock atas putusan tersebut. Ada beban psikologis berat atas putusan majelis hakim yang seolah-olah membenarkan adanya perbuatan perzinahan, yang tak pernah dilakukan.
Bahkan, menurut Yasin, perempuan dua orang anak yang dituduh berzina ini sempat berusaha bunuh diri lantaran menanggung malu pasca putusan Pengadilan Militer tersebut. Belum lagi, putusan itu juga berdampak secara psikologis terhadap anak perempuan dari Dewi Wulandari.
Karena, lanjut Yasin, yang menjadi korban sebenarnya dalam kasus tersebut ialah Dewi Wulandari. Seorang ibu yang tidak pernah melakukan perzinahan, namun dituduh melakukan zinah oleh suaminya sendiri. (red)

