JatimTerkini.com
HukrimJatimSurabaya

Fenomena Kejahatan Anak dan Tawuran Jadi Perhatian Serius Para Ahli. Begini Tanggapannya

ilustrasi
ilustrasi

Surabaya – Keterlibatan anak dalam berbagai kasus pelanggaran hukum pada beberapa bulan terakhir,  menunjukkan adanya peningkatan. Anak tidak hanya menjadi korban atau sasaran tindak kejahatan, tetapi tidak sedikit anak juga menjadi pelaku tindak kejahatan dan fenomena tawuran antar remaja.

Peristiwa atau fenomena ini memantik perhatian dari sejumlah ahli dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, Dewan Pendidikan Jatim Serta Akademisi Perguruan Tinggi Negeri.

“Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim memang mencatat ada laporan tentang kejadian tersebut, tapi tidak bisa kita semua menyalahkan anak-anak karena  kita lebih baik cari akar masalahnya” ulas Edward Dewaruci, Dewan Pembina LPA Jawa Timur, ketika dikonfirmasi, Sabtu (3/6/2023).

Menurut Pengacara ini, secara sosiologis usia remaja 14 sampai 17 adalah usia yang rentan dan sangat butuh perhatian oleh karenanya orang tua harus lebih waspada dengan siapa dan melakukan apa pada Anak-anak.

“Untuk kasus tawuran upaya pencegahan yang harus dimaksimalkan dengan peningkatan kualitas Sekolah Ramah Anak kalau perlu Kampung Ramah Anak yang bergerak untuk kampanye anti Kekerasan” papar Edward yang akrab disapa Teted ini.

Kesempatan lain, hal yang sama disampaikan Isa Anshori, Dewan Pendidikan Jawa Timur ini menegaskan, tawuran antar remaja adalah fenomena anak-anak remaja yang sedang mencari jati diri dan menegaskan dirinya ada.

“Mereka melakukan itu biasanya karena solidaritas dan bagian dari menegaskan bahwa diri dan kelompoknya ada. Ini bagian dari aktualisasi diri dan kelompok” ujarnya.

Menangani mereka sambung Isa, tentu tidak cukup dengan ketegasan, tapi juga kemampuan mendekati mereka sebagaimana yang mereka butuhkan. Kekerasan akan menjadikan mereka akan semakin melawan dan menjauh.

“Kadang mereka, anak anak ini juga menjadi korban dari latar belakang keluarga atau lingkungan, mereka tak mendapatkan tempat curhat yang baik, lalu ketemu teman dalam kelompok yang cenderung sama, tidak ada kata tidak, mereka saling support dan memberi pengakuan, sehingga membuat mereka meyakini apa yang dilakukan adalah benar” ungkapnya.

Isa menambahkan, bagi mereka yang melanggar tetap harus ada sanksi, tapi diharapkan sanksi yang mendidik dan memberi efek jerah.

“Dalam UUPA ada yang disebut dengan restorasi justice, memberi sanksi tapi mendidik dengan kearifan lokal yang ada” pungkasnya.

Sedangkan menurut salah satu dari ahli akademisi Perguruan Tinggi Negeri menyampaikan, Memproses anak yang berkonflik dengan hukum sesuai ketentuan yang berlaku,  kemudian mengirimnya ke penjara anak, dari segi legal-punitif merupakan langkah yang tidak terhindarkan. Akan tetapi, pertanyaan yang kemudian muncul  apakah dengan mengirim anak ke penjara lantas bisa dipastikan masa depan anak-anak itu akan lebih baik?

“Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam, sebab dengan memasukkan anak ke penjara bergaul  dengan sesama anak yang menjadi pelaku tindak kejahatan lain, ditengarai justru menjadi “sekolah kedua” yang dapat menyebabkan anak makin terjerumus ke dalam dunia kriminal daripada menjadi tempat yang menyadarkan anak untuk lepas dari pengalaman kelam di masa lalunya” tutur Dosen Negeri yang enggan menyebutkan namanya.