JatimTerkini.com
Headline JTHukrimSurabayaTerkini

Dipukul, Ditelanjangi, Diancam Sajam, Bocah Difabel Korban Bullying SMPN Surabaya Menanti Keadilan, Ahli Pidana: Unsur Pidana Pelaku Terpenuhi

CW korban (tengah) didampingi Dr Johan Wijaja SH MH (kanan) dan Uya Kuya (kiri). Foto: ist

Surabaya-JATIMTERKINI.COM: CW (14) bocah difabel (dengan keterbatasan khusus), korban bullying siswa SMPN 8 Surabaya hingga kini menanti keadilan. Proses hukum yang berjalan di Polres Pelabuhan Tanjung Perak diharapkan mampu membongkar dan melindungi hak-hak korban.

Kasus bullying yang kian marak di Tanah Air kembali mencuat setelah CW, siswa SMPN 8 Surabaya, bersama ibunya, mengadu ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak pada 11 Oktober 2024. CW yang mempunyai keterbatasan khusus itu mengadu ke polisi lantaran menjadi korban perundungan sejak kelas 7 hingga kelas 9 oleh teman-temannya. Tidak hanya perundungan secara verbal (kata-kata), tetapi juga fisik, mulai dari pemukulan, ditendang, ditelanjangi di depan umum, diremas (alat vital dan payudara), hingga diancam sajam (senjata tajam). Bahkan, aksi perundungan itu kerapkali terjadi di depan guru.

Bahkan, akibat perundungan di lingkungan sekolah itu, CW mengalami trauma berat hingga sempat mau mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.

“Saya malu. Itu (perundungan) dilakukan sejak kelas 7 sampai kelas 9,” ujar CW, dengan kalimat terbata-bata saat memberikan keterangan di Podcast Uya Kuya.

CW yang bicaranya tergagap-gagap itu, mengaku, setiap hari selalu menjadi bahan ejekan oleh enam temannya, yaitu MR, MIA, AP, KH, MU dan DR. Kata-kata kasar seperti ‘Anjing’ dan ‘Babi’ sering dilontarkan padanya.

Suatu hari, CW mengaku, pernah diancam dengan menggunakan sajam (senjata tajam). Kejadian itu, diakui, di depan guru BK (Bimbingan Konseling). Tapi sang guru hanya diam, tidak melakukan peringatan keras, hanya saja mengambil sajam yang dibawa oleh pelaku. “Iya tahu, guru BK,” ungkap CW.

Tidak hanya itu, perlakuan tidak senonoh kembali dialami CW ketika mengikuti kegiatan olahraga renang yang digelar oleh sekolah. Di Kolam Renang Atom, CW lagi-lagi mengalami perundungan serupa. Ia ditelanjangi di depan siswi-siswi perempuan yang saat itu berada di kolam renang. Celana dalam dan celana renang CW dilucuti paksa, kemudian jadi bahan lempar-lemparan kesana kemari. Hingga alat vital CW diremas. Kejadian tragis itu juga disaksikan oleh dua orang guru. Namun lagi-lagi sang guru hanya diam, dan seolah-olah melakukan pembiaran. “Ditelanjangi. Celana dalam, celana renang dilempar-lempar. Itu (alat vital dan payudara) diremas,” jelas CW.

Tak kuat jadi bulan-bulanan perundungan, CW didampingi ibunya kemudian mengadukan kasus tersebut ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Namun, bocah difabel korban perundungan yang harus dilindungi ini malah mendapatkan intimidasi dari pihak sekolah. Dengan ancaman tidak naik kelas dan akan dikeluarkan dari sekolah, CW juga dituding sebagai hama jika melanjutkan kasus tersebut ke jalur hukum. Lebih tragis lagi, CW sempat disuap Rp 500 ribu agar segera mencabut pengaduan dari Polres.

Kini, kasus yang menjadi perhatian publik ini masih bergulir di kepolisian. Bahkan, proses hukum dari penyelidikan meningkat ke penyidikan, dengan nomor perkara: LP/B/757/XII/2024/SPKT/Polres Pelabuhan Tanjung Perak/Polda Jawa Timur pada 12 Desember 2024, terkait tindak pidana dugaan bullying (perundungan), penganiayaan dan kekerasan terhadap anak.

Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Tanjung Perak, AKP M Prasetyo kepada awak media menyatakan akan tetap memproses kasus tersebut. Proses hukum dilakukan dengan tetap melakukan kehati-hatian, agar tidak menyebabkan trauma kepada anak.

“Terus proses. Sudah ada keterangan pelapor, terlapor dan pihak sekolah. Dan juga pemeriksaan psikiatri pada korban terkait dampak psikologis pasca perundungan,” singkatnya.

Sementara, Kuasa Hukum CW, Dr Johan Widjaja SH MH mengatakan bahwa kasus tersebut diawali dari laporan Dumas (Pengaduan Masyarakat) ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak tanggal 11 Oktober 2024. Saat itu, kasus ini masih berstatus penyelidikan (Lidik). Namun tak lama kemudian statusnya meningkatkan ke tingkat penyidikan (Laporan Polisi) tanggal 12 Desember 2024.

Kuasa hukum korban, Dr Johan Widjaja SH MH. Foto: ist

Dalam proses penyidikan, dikatakan Dr Johan, penyidik mendapat bukti hukum setelah memeriksa para pelaku dan pihak Sekolah, yakni Kepala Sekolah (Kasek), Guru BK (Bimbingan Konseling), Guru Renang dan Wali Kelas. Sehingga, penyidik yakin bahwa ada peristiwa bullying verbal, fisik dan psikis terhadap korban (CW).

“Saat ini, perkaranya masih berproses dan tidak lama akan dilakukan gelar perkara di Polda Jatim. Hal ini untuk mendapatkan masukkan dari tim gelar dan untuk memutuskan langkah selanjutnya bagi penyidik dalam penanganan perkara tersebut,” tegas Dr Johan.

Praktisi hukum ini menyatakan, bahwa tindakan para pelaku telah terbukti dalam tindak pidana bullying. Tidak hanya secara verbal, tetapi juga fisik dan psikis. “Dan pihak sekolah patut diduga melakukan pembiaran, karena perkara ini diketahui dari sejak kelas 7 hingga kelas 9, yang diadukan oleh korban. Namun tidak ditangani serius, khususnya pada tanggal 26 September 2024 korban ditelanjangi lebih dari 5 menit di kolam renang Pasar Atom. Antara lain kemaluan dan susu korban diremas yang di saksikan oleh para siswa dan siswi, termasuk dua guru renang yang mendampingi kegiatan tersebut. Mereka membiarkan peristiwa itu dan dianggap bercanda saja. Hal ini benar-benar ada pembiaran, dampaknya para pelaku terus menerus melakukan perbuatan perundungan,” urainya.

Dr Johan berharap, kasus tersebut dapat diproses hingga ke pengadilan. “Agar menjadi pelajaran di Indonesia, biar tidak terjadi dan terulang lagi. Karena peristiwa seperti ini banyak terjadi. Perkara ini harus dianggap sangat serius,” paparnya.

AHLI HUKUM SEBUT PELAKU PENUHI UNSUR PIDANA

Ahli Hukum Pidana Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Dr Yovita Arie Mangesti SH MH, menyatakan bahwa kasus tersebut telah memenuhi unsur pidana, yakni Pasal 76C jo Pasal 80 UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ahli Hukum Pidana Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Dr Yovita Arie Mangesti SH MH. Foto: ist

Pasal 76C berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan, menyuruh melakukan, membiarkan, turut serta melakukan, atau menempatkan kekerasan terhadap anak. Pelaku kekerasan terhadap anak dapat dijerat dengan hukuman pidana penjara dan/atau denda.”

Sedangkan, Pasal 80 ayat (1) berbunyi: “Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan. Pidana tersebut juga dapat dijatuhkan denda paling banyak Rp72 juta.”

Pasal 80 ayat (2) berbunyi: “Jika anak mengalami luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Pidana tersebut juga dapat dijatuhkan denda paling banyak Rp100 juta.”

Dan, Pasal 80 ayat (3) berbunyi: “Jika anak meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pidana tersebut juga dapat dijatuhkan denda paling banyak Rp3 miliar.”

“Memang ada peristiwa Pidananya. Jadi, unsur pidananya ada di kasus ini. Kalau dilihat ada kekerasan tidak hanya verbal, tetapi juga fisik dan psikologis. Dan ancaman hukumannya 3 tahun 6 bulan. Apalagi disini juga ada pembiaran. Jika korban mengalami luka berat maka pelaku bisa dipidana dengan hukuman 5 tahun penjara,” terang Dr Yovita.

Menurut Dr Yovita, kekerasan terhadap anak-anak di sekolah seharusnya tidak dibiarkan begitu saja. Terlebih lagi, lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab besar terhadap tumbuh kembang anak. “Kalau melihat pengakuan korban memang terjadi bullying atau kekerasan dan terjadi pembiaran, khususnya di kolam renang. Dan pembiaran bisa dijerat dengan turut serta dalam kekerasan. Di Pasal ini cukup jelas,” tandasnya.

Ketika disinggung adakah jeratan yang memberatkan jika korban merupakan anak berkebutuhan khusus (difabel)? Dosen Fakultas Hukum Pidana ini menyatakan jika belum ada yang mengatur hal tersebut.

Namun, lanjut Dr Yovita, meski tidak menghapus tindak pidananya, penanganan hukum terhadap kekerasan anak diperlukan penanganan khusus. Apalagi, korban dan pelaku merupakan anak-anak yang masih di bawah umur.

Sehingga, kata Dr Yovita lagi, penanganan terhadap kasus anak-anak wajib dilakukan diversi. Ketentuan itu sesuai dengan Pasal 7 UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

“Jadi, penanganannya juga harus hati-hati. Jangan sampai semua ada trauma. Meskipun tidak menghapus tindak pidananya, tapi wajib diversi,” tambahnya.

Dr Yovita menyebut, upaya penanganan secara diversi merupakan bentuk dari Keadilan Restorativ (Restorative Justice). Apalagi ancaman pidananya di bawah 7 tahun. “Kalau diversi ini deadlock di tingkat penyidikan, bisa diversi di tingkat penuntutan hingga persidangan. Tapi kalau di persidangan deadlock juga, nanti hakim yang akan memutuskan,” papar Dr Yovita.

Sedangkan untuk penyandang disabilitas, ungkap Dr Yovita, perbuatan pelaku dapat melanggar Pasal 143 huruf q UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Yaitu, hak bebas dari diskriminasi, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi.

“Yang ancaman sanksinya diatur dalam Pasal 145, yakni setiap orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Namun dikarenakan pelakunya adalah anak-anak maka penangannya wajib diversi,” pungkasnya.(Rud)