JatimTerkini.com
Headline JTHukrimSurabayaTerkini

Berstatus tersangka, kuasa hukum korban mendesak agar Pendeta Surabaya yang cabuli cucu sendiri segera di tahan

Jan Labobar SH MH, kuasa hukum korban pencabulan meminta agar tersangka segera di tahan. Foto: ist

JATIMTERKINI.COM: Kamis (13/6/2024) besok, JM (70) Pendeta Surabaya yang diduga cabuli cucu sendiri akan diperiksa sebagai tersangka oleh Polrestabes Surabaya. Untuk itu, kuasa hukum korban, Jan Labobar SH MH, mendesak kepolisian agar segera melakukan penahanan terhadap tersangka.

JM, salah seorang Pendeta Surabaya yang diduga mencabuli cucunya sendiri statusnya meningkat ke tingkat penyidikan. Bahkan, setelah dilakukan gelar perkara beberapa waktu lalu, JM sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Rencananya, Kamis (13/6/2024) besok, JM akan diperiksa oleh Unit PPA (Perempuan dan Perlindungan Anak) Polrestabes Surabaya sebagai tersangka. Sementara, kuasa hukum korban, Jan Labobar SH MH mendesak kepolisian agar segera melakukan penahanan jika pelaku sudah diperiksa sebagai tersangka.

Hal itu disampaikan Jan Labobar kepada sejumlah awak media, Rabu (12/6/2024). Menurut Jan, jika sudah diperiksa sebagai tersangka maka pelaku harus segera di tahan.

Pasalnya, kata Jan Labobar, ancaman hukuman dalam peristiwa tersebut cukup tinggi. Yakni, minimal 5 tahun penjara, sesuai dengan pasal 81 UU Perlindungan Anak. Apalagi, di Undang-undang Perlindungan Anak juga terdapat denda maksimal Rp 5 miliar.

“Jadi, karena ancaman hukuman yang cukup tinggi dan denda yang cukup tinggi pula saya minta penyidik tetap independen sesuai aturan hukum tersebut,” tegas advokat senior Jawa Timur ini.

Jan Labobar mengatakan, jika tuntutan korban agar tersangka segera di tahan adalah wajar. Karena hal itu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. “Kita minta penyidik menjalankan itu. Kalau penyidik punya alasan-alasan tertentu, ya kita minta alasan pembenaran itu dikesampingkan. Kita jalankan sesuai Undang-undang aja,” jelas Jan Labobar.

Selain mendesak segera dilakukan penahanan terhadap tersangka, Jan Labobar juga meminta agar penyidik juga memasang Police Line di Tempat Kejadian Perkara (TKP), yakni sebuah rumah di Jalan Kedondong 9B dan Jalan Cempaka No.35 Surabaya.

“Mengapa kami minta dilakukan penahanan dan dipasang Police Line di TKP? Karena selain ancaman hukumannya tinggi, dan jangan sampai melarikan diri, juga supaya tidak menghilangkan barang bukti. Saya harap penyidik independen dan berada di tengah-tengah, kalau memang salah ya dikatakan salah. Kalau ada alasan pembenaran itu nanti di pengadilan saja,” papar Jan Labobar.

Meski diakui, jika pihaknya selama ini juga mendapatkan tekanan dari beberapa pihak yang mendesak agar mencabut laporan. “Memang ada beberapa tekanan dari pihak-pihak tertentu agar pelapor diminta mencabut lapiran. Kepada saya pun ada yang meminta untuk mencabut laporan tersebut. Tapi soal itu berdamai atau tidak, kita mengikuti mekanisme yang ada. Tentunya harus koordinasi dengan penyidik, apakah kasus ini bisa Restoratif Justice atau tidak? Kalau tidak, ya prosedur yang ada sampai ke pengadilan,” tambahnya.

Seperti diketahui sebelumnya, salah seorang Pendeta sebuah gereja di Jalan Cempaka, Surabaya, diduga melakukan aksi pencabulan terhadap Bunga (nama samaran), yang tak lain masih cucunya sendiri. Tragisnya lagi, perbuatan tak terpuji itu dilakukan sejak Bunga masih duduk di kelas 3 SD (Sekolah Dasar). Kasus tersebut kini ditangani Unit PPA (Perempuan dan Perlindungan Anak) Polrestabes Surabaya.

RM, ibu kandung korban yang didampingi kuasa hukumnya Jan Labobar SH MH mengatakan, bahwa peristiwa asusila yang diduga dilakukan Pendeta berinisial JM (70) itu terbongkar pada Juli 2023 lalu, saat Bunga menginap di rumah tantenya bernama HL, yang berada di Sidoarjo. Bunga yang sebelumnya sebagai gadis kecil yang periang mendadak menjadi pendiam, bahkan kerap kali terlihat murung dan suka menyendiri. Perubahan perilaku Bunga itu tentunya mengundang kecurigaan HL. Apalagi, Bunga sempat mengatakan pada HL jika dirinya akan bunuh diri.

“Selain suka diam dan wajahnya murung, anak saya sempat bilang ke tantenya (HL) kalau mau bunuh diri saja,” tutur RM.

Mendengar penuturan Bunga yang polos itu, HL pun kaget. Hingga kemudian HL mengorek keterangan lebih dalam ke Bunga, apa yang menjadi penyebab dia mau bunuh diri.

Menurut RM, dari situlah kemudian kasus dugaan pencabulan oleh kakeknya itu terbongkar. Dengan sedikit ketakutan, Bunga menceritakan jika dia dicabuli, bahkan diperlakukan layaknya hubungan suami istri oleh JM. Yang menyedihkan lagi, kata RM, aksi ‘tak bermoral’ itu diakui sejak Bunga duduk di kelas 3 SD.

“Dengan rasa ketakutan anak saya mengaku, perbuatan itu dilakukan kakeknya sejak dia kelas 3 SD,” jelas RM.

Memang saat awal kejadian, diakui RM, dirinya sedang tidak berada di rumah. Dia berada di Manado, dan tidak bisa kembali lantaran tengah diberlakukan PSBB akibat pandemi Covid 19. “Anak saya (Bunga) memang tinggal bersama kakek dan neneknya, yang kebetulan kami tinggal satu atap rumah,” ungkap RM dengan mata berkaca-kaca.

Setelah HL mendengar pengakuan Bunga, HL kemudian memanggil RM, dan menjelaskan semua atas kejadian yang menimpa anak RM tersebut.

RM yang diberitahu atas kejadian itu sempat syok. Apalagi, Bunga adalah putri kecil RM satu-aatunya. Hingga kemudian RM bersama kuasa hukumnya Jan Labobar melaporkan kejadian tersebut ke Polrestabes Surabaya, dengan nomor laporan: LP/B/320/III/2024/SPKT/Polrestabes Surabaya/Polda Jawa Timur.

Sementara, menurut Jan Labobar, berdasarkan keterangan korban ke penyidik bahwa awal asusila itu saat Bunga tidur sendirian di kamar, yang selama ini dipakai oleh kakek dan neneknya. Pendeta JM yang sedianya akan membangunkan Bunga untuk mengajak beribadah akhirnya berubah pikiran setelah melihat kemolekan tubuh cucunya. Pendeta JM pun menggerayangi tubuh Bunga, seluruh tubuh Bunga juga diciumi, bahkan jari Pendeta JM dimasukan ke alat vital Bunga.

“Awalnya digerayangi, tubuhnya diciumi, kemudian jari-jarinya dimasukan ke alat vital korban. Itu awal kejadian seperti itu berdasarkan pengakuan korban,” tegas Jan Labobar.

Pasca kejadian itu, lanjut Jan Labobar, aksi mesum Pendeta JM semakin brutal. “Berdasarkan pengakuan, pelaku memperdayai korban untuk berhubungan layaknya suami istri di lorong yang menghubungkan rumah pelaku dengan gereja. Bahkan, diakui juga perbuatan itu dilakukan di dalam Gereja,” ungkap pengacara senior ini menegaskan.

Dikatakan Jan Labobar, keluarga korban selain melaporkan hal itu ke kepolisian, juga melaporkan kejadian tersebut ke Majelis Pusat Gereja Gerakan Pentakosta. Mengingat pelaku merupakan seorang Pendeta.

Bahkan, Majelis Pusat Gereja Gerakan Pantekosta akhirnya ‘memecat’ JM dari status Pendeta, dengan SK No: 02/SK/MP-GGP/VIII/2023. Dalam SK tersebut juga disebutkan bahwa perbuatan JM dalam bentuk apapun adalah atas nama pribadi. Selain itu, Majelis Pusat Gereja Gerakan Pentakosta mendesak Majelis Daerah Jawa Timur Gereja Gerakan Pentakosta segera menindak lanjuti mencabut status JM sebagai Pendeta.

“Jadi, yang kita pikirkan juga adalah dampak psikologis anak. Apalagi yang melakukan kakeknya sendiri, yang dekat dengan korban. Ini yang membuat kita sangat prihatin,” tambahnya.

Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Hendro Sukmono kepada awak media mengatakan, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan atas kasus tersebut.

“Selama satu minggu awal ini, kami memeriksa saksi korban. Langkah lain yang kami ambil adalah permintaan visum luar, serta rencana pemeriksaan psikologi,” pungkas dia. (Rud)