Surabaya-JATIMTERKINI.COM: Anak-anak kerap kali menjadi korban bullying. Tidak hanya di lingkungan tempat tinggal, tetapi juga di sekolah. Dan, tak sedikit pula mereka mengalami trauma psikologis.
Lantas, siapa yang akan bertanggung jawab atas kasus tersebut? Ini pemaparan praktisi hukum dari Handiwiyanto Law Office.
Dalam akun Instagram (IG)-nya @handiwiyantolawoffice disebutkan, sesuai Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA), bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Selain itu, juga anak-anak wajib mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan hak anak ini juga disebutkan dalam Pasal 1 Angka 12 UUPA. Yakni, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah dan pemerintah daerah.
Sehingga, sekolah secara hukum juga memiliki kuwajiban untuk melindungi siswanya dari tindakan bullying. Hal tersebut diatur dalam Pasal 9 Ayat 1A UUPA 35/2014. Yaitu, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari satuan pendidikan dari kejahatan seksual, dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.
“Apabila terjadi bullying atau pelanggaran terhadap Hak Anak, maka para pihak yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka 12 wajib menjamin dan melindungi hak anak yang menjadi korban bully,” tulis Handiwiyanto Law Office dalam IG nya.
Bahkan, para pihak yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka 12 UUPA yang tidak melakukan upaya pencegahan atau perlindungan terhadap pelanggaran Hak Anak dalam bentuk bullying, maka terdapat ketentuan sanksi yang diatur di dalam Pasal 76C UUPA.
“Menyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak,” jelas Handiwiyanto Law Office.
Sedangkan, kekerasan yang dimaksud dalam Pasal 76C dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 15A UUPA. Yakni, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Adapun ancaman pidana atas pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 80 Ayat (1) UUPA.
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan atau denda paling banyak Rp72.000.000,” tambahnya. (Rud)