JatimTerkini.com
Headline JTHukrimJatimSurabayaTerkini

Dakwaan JPU Terhadap Sentosa Liem Dinilai Prematur, Kuasa Hukum Minta Hakim Bebaskan Terdakwa

Kuasa hukum terdakwa Sentosa Liem (44), yakni Dr. Johan Widjaja SH., MH., saat persidangan. Foto: Ist/Nt

Surabaya-JATIMTERKINI.COM: Selain menolak semua dakwaan, kuasa hukum terdakwa Liem Tjie Sen alias Sentosa Liem (45), yakni Dr. Johan Widjaja SH., MH., menilai bahwa dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) prematur. Untuk itu, ia juga meminta majelis hakim untuk membebaskan terdakwa.

Hal itu disampaikan Dr. Johan Widjaja SH., MH., dalam eksepsinya yang dibacakan di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (10/11/2025).

Dalam eksepsinya, Dr. Johan menolak atas dakwaan pertama dan dakwaan kedua dengan ancaman Pasal 6 huruf c undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang berbunyi “Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, kewenangan, kepercayaan atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.300.OOO.OOO.” Menurutnya, dakwaan JPU tersebut dinilai prematur.

Apalagi, kata Dr. Johan, terdakwa selama ini telah mengalami gangguan kesehatan mental. Karena sejak 2006 terdakwa berobat di Rumah Sakit Jiwa Menur, Jl. Raya Menur No.120 Surabaya, yang mana rawat inap dari tanggal 9 hingga 31 Juli 2006. “Kemudian, terdakwa menjalani rawat jalan sampai bulan Pebruari 2025 dengan mengonsumsi obat dari dokter,” ungkap Dr. Johan.

Hal itu juga dikuatkan dengan hasil pemeriksaan psikologi forensik dari Rumah Sakit Bhayangkara bernomor: Psi/137Nl/Kes.3/2025/Rumkit, pada tanggal 20 Juni 2025. Dalam pemeriksaan itu diketahui bahwa terdakwa sulit berpikir dan menganalisa, bahkan jawaban yang disampaikan terdakwa tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan.

Terlebih lagi, ungkap Dr. Johan, penggunaan narkoba dalam jangka panjang dapat menyebabkan perubahan pada sel saraf otak yang menyebabkan gangguan pada fungsi otak. Sehingga terdakwa mengalami kesulitan dalam berpikir dan salah mengambil keputusan yang tepat.

“Penyebab dari masalah ini adalah adanya ketidaksesuaian pemahaman antara terdakwa dan korban dalam berkomunikasi, sehingga tidak mendapatkan tujuan yang sama,” jelas Dr. Johan.

Selain itu, Dr. Johan juga mengungkap hasil pemeriksaan Visum et Repertum bernomor: VER/404Nlll/KESU2024/Rumkit, tanggal 31 Juli 2024 dan Visum et Repertum nomor: VER/609/ /lX/KES32024/Rumkit, tanggal 23 September 2024. Dari hasil kedua Visum itu terungkap bahwa kepala, leher, dada, perut, punggung, pinggang, alat gerak atas dan alat gerak bawah korban tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. “Dari bukti-bukti data tersebut maka membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana kekerasan seksual, seperti yang didakwakan dalam Surat Dakwaan. Sehingga hubungan seksual yang dilakukan terdakwa dengan korban adalah suka sama suka,” tandasnya.

Dalam eksepsinya, Dr. Johan juga memaparkan bahwa terdakwa terakhir kali mengkonsumsi obat dari dokter pada Pebruari 2025. Karena itu, apa yang dilakukan oleh terdakwa dalam kondisi tidak normal secara psikis dalam bertindak dan merespon sesuatu ketika dalam status berpacaran dengan korban. Dengan demikian, terdakwa tidak dapat dipidana, sesuai dengan Pasal 44 ayat (1) KUHP. “Bunyinya, barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana,” terangnya.

Untuk itu, Dr. Johan meminta pada majelis hakim agar menyatakan Surat Dakwaan Pertama dan Surat Dakwaan Kedua tidak dapat diterima. Karena, terdakwa tidak terbukti melakukan kekerasan seksual dan kondisi psikis terdakwa tidak normal. Dan meminta majelis hakim agar terdakwa dibebaskan dari tahanan serta memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabat terdakwa.

“Kami berharap majelis hakim yang memeriksa mempertimbangkan dalil-dalil dari kuasa hukum terdakwa, dan memberi putusan sela untuk tidak menerima Surat Dakwaan JPU. Karena hubungan pacaran hingga dilakukan hubungan seksual dengan cara suka sama suka, dengan tanpa kekerasan. Apalagi kondisi psikis terdakwa tidak normal akibat mengkonsumsi obat dari dokter untuk mengendalikan perilaku dan pikiran terdakwa. Jadi kami mohon pada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk membebaskan terdakwa,” tambahnya.

Seperti diketahui, Liem Tjie Sen alias Sentosa Liem (45) didakwa melakukan tindak kekerasan seksual terhadap seorang perempuan berinisial EP (45). Dalam dakwaanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Renanda Kusumastuti, menyebut terdakwa dijerat dengan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pasal tersebut mengatur tentang perbuatan kekerasan fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan, dan atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaan orang lain secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan.

Kasus ini berawal dari perkenalan antara korban EP dan terdakwa melalui sebuah aplikasi pencarian jodoh pada 19 Februari 2024. Hubungan keduanya berkembang menjadi hubungan asmara sejak Februari hingga Juni 2024, setelah terdakwa menyatakan cinta terlebih dahulu.

Dalam dakwaan disebutkan, pada awal Maret 2024, terdakwa mengajak korban ke Pantai Ria Kenjeran, Surabaya, menggunakan mobil Toyota Innova bernomor polisi L 1334 BK. Di lokasi tersebut, terdakwa diduga menarik tuas kursi mobil penumpang yang ditempati oleh EP yang menyebabkan sehingga posisi EP terlentang, kemudian terdakwa langsung menaiki badan dan membungkam mulut EP dan melepas celana dalam yang pakai EP lalu terdakwa memasukan alat kelaminnya ke alat kelamin EP hingga sperma terdakwa keluar di alat kelamin EP.

Dalam surat dakwaan disebutkan, perbuatan serupa kembali terjadi pada pertengahan Maret 2024 di sebuah hotel sekitar Pantai Kenjeran, dan pada akhir Mei 2024 di area parkir Rumah Sakit Mitra Keluarga Sidoarjo. Dalam setiap aksinya, terdakwa disebut melakukan persetubuhan disertai ancaman terhadap korban agar menuruti keinginannya. (rud)